Digdaya TNI Melawan Belanda pada Serangan Umum 1 Maret



Belanda ingkar janji pada perjanjian Renville dan melakukan Agresi Militer untuk kedua kalinya. Sasaran mereka kali ini adalah ibukota RI yang saat itu masih di Yogyakarta.

Pada akhir tahun 1948, pasukan satu kompi baret merah Belanda mulai datang ke Yogyakarta. Dalam waktu singkat Yogyakarta dapat diduduki oleh mereka. Tidak lama berselang,datang satu batalyon baret hijau Belanda untuk menambah kekuatan di Yogyakarta. Alhasil, Belanda berhasil memperluas kedudukannya di Yogyakarta dengan menaklukan kabupaten-kabupaten di sekitar Yogyakarta, seperti Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Bantul. Selain itu, Belanda juga melakukan propaganda ke luar maupun dalam negeri bahwa Tentara Nasional Indonesia tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan Belanda.

Mendengar pernyataan Belanda seperti itu rakyat tidak mudah percaya. Mereka, khususnya para tentara juga merasa dilecehkan atas pernyataan yang dikeluarkan Belanda. Lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjabat sebagai Menteri Pertanahan mengirimkan sebuah surat kepada Jenderal Sudirman. Isi surat tersebut yaitu untuk sedianya Jenderal Sudirman merestui serangan terhadap Belanda dalam rangka perlawanan.

Jenderal Sudirman menyetujui hal tersebut. Ia memerintahkan agar Sri Sultan berkoordinasi dengan Letkol Soeharto untuk menyusun strategi penyerangan. Sri Sultan dan Letkol Soeharto memutuskan untuk bertemu dan melakukan pembicaraan empat mata di Ndalem Prabuningratan. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk melakukan aksi penyerangan pada tanggal 1 Maret 1949.

Tidak lama berselang, para relawan gerilyawan datang berbondong-bondong memasuki Yogyakarta. Ketika itu, waktu baru menunjukan pukul 06.00 WIB disaat pasukan Belanda masih lengah.

Seragan dimulai dengan semangat membara yang terdiri dari 2.500 pasukan gerilya TNI di bawah komando Soeharto. Mereka melakukan pengepungan kota Yogya dari berbagai arah. Mayor Soekasno memegang kendali di bagian utara. Pasukan ini bertugas untuk menghalau bantuan dari bala tentara Belanda untuk mencapai Yogyakarta. Sementara Soeharto memimpin pasukannya di wilayah timur dengan berusaha membobol pertahanan Belanda di Jalan Malioboro.

Di wilayah barat, pasukan Kapten Radiko memasuki daerah pusat amunisi Belanda di pabrik Besi Watson. Sementara itu, untuk menerobos ke alun-alun, Mayor Sardjono melakukan perlawanan di wilayah selatan. Serangan terus dilancarkan pasukan TNI hingga ruas-ruas jalan Kota Yogya. Melihat pengepungan yang dilakukan TNI ini, Belanda mulai kelabakan.

Diceritakan bahwa Belanda sempat mendatangkan bantuan dari Magelang. Pasukan tersebut dipimpin Kolonel Van Zanten yang terdiri dari pasukan paling tangguh juga disertai tank dan panser. Biar begitu, Belanda tetap kewalahan menghadapi TNI hingga akhirnya pos-pos militer mereka dikuasai gerilyawan TNI.

Dalam kurun waktu kurang lebih 6 jam, Yogayakarta berhasil direbut kembali oleh TNI. Pukul 12.00 WIB, Letkol Soeharto memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuju pangkalan gerilya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa pernyataan Belanda yang mengatakan TNI sudah tidak punya daya lagi ternyata salah total.

Berita kemenangan Indonesia terhadap Belanda di Yogyakarta menyebar secara kilat bahkan sampai ke Washinton DC, Amerika Serikat. Serangan ini sekali lagi membuktikan perlawanan Bangsa Indonesia yang sulit dibendung jika sudah bersatu. Karena sejatinya yang membuat bangsa ini lemah hanyalah adu domba yang memecah bangsa dan mengakibatkan kita lemah.


Sumber: pikiran-rakyat.com

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai