Tionghoa di Banua Banjar


Kedatangan orang Tionghoa di Nusantara dapat dilacak mulai abad ke-7. Hal ini diungkapkan oleh Guru Besar Universitas Xianmen, Profesor Shi Xueqing. Selanjutnya pada abad ke-11 ratusan ribu orang Tionghoa berdatangan ke Nusantara yang menyebar di pesisir utara Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera serta pesisir barat Kalimantan.

“Para perantau Tionghoa ini disebut Singkeh atau Cina Baru. Mereka ini hidup melarat dan serba kekurangan,” tutur sang profesor. 

Orang-orang Tionghoa ini tinggal dalam satu komunitas dan membentuk sebuah kampung. Orang Indonesia biasa menyebut kampung tersebut dengan Pecinan atau dalam bahasa Banjar Pacinan. “Kebanyakan orang-orang Tionghoa yang ada di Banjarmasin ini berasal dari Provinsi Yunan, Tiongkok Selatan. Kalau berasal dari wilayah utara, hampir tak ditemukan,” tutur Arifin Sutiono Sutiono yang tergabung dalam Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kalimantan Selatan. 

Seperti kebanyakan suku Tionghoa lainnya mereka yang datang ke Kalimantan Selatan kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Seperti suku Kei atau Hakka yang berdagang hasil bumi Kalimantan berupa lada, karet, damar dan sebagainya. Selain suku Kei terdapat juga suku Tio Chiu yang mayoritas berprofesi sebagai tukang kayu. 

“Mereka inilah yang datang ke Tanah Banjar sebagai pedagang, terutama hasil-hasil bumi Kalimantan seperti rempah-rempah. Lama kelamaan mereka akhirnya bermukim dan menjadikan tanah Banjar sebagai tanah keduanya,” tutur Arifin Sutiono. 

Pada zaman Empu Jatmika orang-orang Tionghoa ini didatangkan dari Pulau Jawa. Mereka ditugaskan khusus untuk membuat patung-patung dari logam. Orang-orang Tionghoa ini dipersilahkan untuk membangun permukiman di Banua Banjar. 

Menurut Prof. Idwar Saleh dalam buku Bandjarmasin disebutkan bahwa orang Tionghoa lebih dahulu membangun permukiman di daerah aliran Sungai Barito, terutama di Bandarmasih (Kuin, Banjarmasin Utara). Sementara menurut catatan keluarga keturunan Khatib Dayan orang-orang Tionghoa juga membangun permukiman di Sungai Sugaling, perbatasan Kelurahan Alalak Selatan dan Kuin Utara. 

Dalam kronik Cina buku 323, Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) dituliskan bahwa pada era Sultan Banjar ke-3 yaitu Sultan Hidayatullah I pedagang yang berasal dari negeri Tiongkok ini membentuk sebuah perkampungan yang masyarakat sekitar disebut Pacinan. Dahulu kampung Pacinan terbagi menjadi dua yaitu Pacinan Laut (kini Jln. Piere Tandean) dan Pacinan Darat (kawasan Jln. Veteran hingga Kampung Melayu). Tujuan mereka datang ke Banua Banjar ialah untuk memperoleh lada. 

Ketita itu, orang-orang Tionghoa kalah bersaing dengan Belanda dan Inggris dalam memperoleh lada. Mereka pun memutuskan untuk mencari negeri lain yang memproduksi lada. Berdasarkan informasi yang didapat dari bangsa Protugis di Macau mereka pun mencoba untuk berlayar ke negeri Banjar. 

Orang-orang Tionghoa ini pergi dari pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo, dan Macao dengan rombongan jung-jung yang tidak sedikit. Setidaknya setiap tahun ada empat sampai tigabelas buah jung yang berangkat dari pelabuhan tersebut. 

Mereka yang tiba di Banua Banjar disambut dengan baik oleh penduduk setempat karena membawa barang-barang yang disukai penduduk Banjar. Seperti sutera, teh, kamper, garam, perkakas, tembaga, dan barang porselen. Barang-barang yang berasal dari Tiongkok ini ditukar dengan lada, emas atau barang lainnya yang merupakan hasil produksi di Banua Banjar. 

Pada permulaan abad ke-18, Sungai Barito sering dipenuhi oleh jung-jung dari Tiongkok yang datang ke negeri Banjar. Kalender pasar perdagangan lada di Banjar terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. Orang-orang Tiongkok biasa datang diakhir periode perdagangan tersebut yaitu pada bulan Februari. Namun, mereka tidak khawatir akan kehabisan lada karena para penduduk Banjar sudah menyimpannya terlebih dahulu untuk dijual kepada mereka. Penduduk Banjar sangat senang dengan barang dagangan yang dibawa dari negeri Tiongkok yang ditukarkan dengan lada. Selain itu, para pedagang Tionghoa tersebut juga menawarkan harga yang lebih tinggi ketika membeli lada. 

Ketika Komisioner Residen Inggris Alexander Hare berkuasa di Benteng Tatas ia mendatangkan para imigran Tionghoa ke Tanah Laut. Para imigran ini didatangkan dari Pulau Bangka dan Belitung untuk diperkerjakan di tambang batubara milik Belanda yang diambilalih oleh Inggris di Distrik Maluka. Para imigran yang didatangkan oleh Alexander Hare ini disebut oleh masyarakat Banjar, Cina Parit. Walaupaun banyak orang Tionghoa bermukim di Tanah Laut tapi tetaplah episentrum masyarakat Tionghoa paling banyak di Pacinan Banjarmasin.

 

Sumber:    jejakrekam   |   WIkipedia

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai