Mudik Para Datu


Dua dari lima bersaudara cucu Datu Kalampayan memutuskan untuk pergi ke Kandangan. Sementara itu, tiga saudara lainnya masing-masing pergi ke Tenggarog, Sampit, dan Pagatan. Datu Ahmad dan Datu Sa’duddin berkhidmat kepada penduduk sekitar hingga akhir hayat beliau. Di Kandangan, Datu Ahmad memilih ke daerah Balimau dan Datu Sa’duddin pergi ke daerah Taniran.

 

Tidak sedikit zuriat Datu Kalampayan yang menyebar ke pelosok-pelosok Kalimantan. Bahkan ada yang pergi ke Sumatera, Malaysia, dan Timur Tengah. Mereka pergi untuk mengemban misi perjuangan leluhur yang diwariskan. Mendakwahkan Islam yang penuh cinta kasih.

 

Tidak mungkin mereka rela pergi jauh dari tanah kelahiran jikalau tidak ada rasa cinta kepada datu mereka. Sebab datu mereka dahulu pernah merantau ke Tanah Arab kurang lebih 32 tahun untuk menuntut ilmu. Bagaikan anak sungai yang bersumber dari induk sungai, mereka mengikuti jejak-jejak perjuangan datu.

 

Sungguh mulia sekali Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datu Kalampayan di mata diriku yang penuh dosa ini. Jikalau kita pandang lukisan wajah beliau seakan-seakan gerimis membasahi bunga mekar di pagi hari. Andaikan disebut nama beliau terbayang jasa-jasa yang begitu besar bagi umat. Rumah ataupun ruangan yang terdapat lukisan atau foto makam beliau bagaikan istana dengan suasana khusyuk yang menceritakan kedamaian d kehidupan berikutnya.

 

“Seseorang akan dikumpulkan bersama yang dicintai.”

 

Terbayang diriku yang tidak punya modal apa-apa untuk menatap kehidupan berikutnya mendapat didikan dari beliau. Bagaikan hubungan kakek dan cucu beliau menasihati dengan lembut perkara-perkara yang telah diriku lakukan dan yang akan dilakukan. Begitulah bayangan seorang pecinta yang menjadi pengagum beliau.

 

Tidak diriku dapatkan pengertian cinta di media-media elektronik. Di sinetron, film, ataupun drama-drama yang dipenuhi intrik tersebut. Namun, ketika diriku pandang lukisan wajah beliau begitu besar rasa bergejolak di hati walau tak pernah sedetikpun bertemu langsung. Adapun yang patut diriku syukuri ialah adanya ketertarikan cinta dari ruhani diriku terhadap beliau. Walau secara wujud tak pernah berjumpa.

 

“Jikalau cintamu hanya karena rupa, lalu bagaimana engkau mencintai Tuhanmu yang tidak terlihat?” Maulana Jalaluddin Rumi

 

Banjarbaru, 2 Juni 2020


Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai