Belajar dari Republik Nauru


Republik Nauru merupakan sebuah negara yang berbentuk republik yang tidak memiliki ibu kota resmi. Nauru adalah pulau kecil yang terletak di Samudra Pasifik, berdekatan dengan Kepulauan Marshall. Jika dihitung jarak Pulau Papua sampai Nauru sebanding dengan jarak Pulau Papua ke Pulau Jawa. Republik Nauru merupakan negara dengan jumlah penduduk sedikit kedua di dunia setelah Vatikan.



Jika kita menilik jauh ke belakang, Republik Nauru pernah menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Jawabannya karena Phospat. Ketika Republik Nauru merdeka tahun 1968, potensi Phospat dikuasai putera daerah. Phospat di daerah ini diperkirakan mepunyai jumlah 41 juta ton. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki Phospat sekitar 2,5 juta ton. Tentu potensi Phospat di Nauru sangat besar.

Potensi ini dimanfaatkan betul oleh Nauru. Mereka terus-menerus mengeksplorasi Phospat, karena inilah satu-satunya potensi uang bagi mereka. Tercatat Nauru pernah mengekspor Phospat sebanyak 2 juta ton per tahun ke Australia. Tentu keuntungan yang didapat begitu besar.

Dengan luas negara hanya 21 km tidak lebih dari 10.000 jiwa mengakibatkan mudahnya membagikan uang ke seluruh penduduknya. Pendapatan perkapita Republik Nauru tahun 1981 mencapai 17.000 dolar. Dengan pendapatan setinggi itu dan jumlah penduduk yang sedikit (lebih banyak kapasitas Masjid Istiqlal) Republik Nauru tampil sebagai negeri yang kaya. Mereka mulai membangun gedung-gedung pencakar langit dan membeli pesawa-pesawat komersial. Para pegawai negerinya boleh datang sesuka hati dengan gaji yang tentu tidak kecil. Sementara untuk pengangguran, pemerintah Nauru membuat kebijakan subsidi untuk mereka. Tidak hanya itu, saking enaknya hidup di sana banyak penduduk Nauru yang enggan menjadi pekerja lapangan. Singkatnya tidak ada orang miskin di sana.

Tapi apa yang terjadi dengan Republik Nauru sekarang? Kekayaan mereka lenyap. Phospat sebagai sandaran hidup mereka habis seketika. Dikarenakan eksplorasi besar-besaran tanpa memikirkan masa kelak. Hutang mereka melajit mencapai lebih 100 juta dolar. Nauru terpaksa melego properti kekayaan mereka. Namun hutang mereka tetap masih bersisia. Lapangan terbang yang menghubungkan Nauru dengan negara lainpun tutup.

Eksplorasi yang kelewatan dari Nauru juga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tercatat 90% wilayah Nauru tidak layak huni karena begitu rusak. Pertambangn juga merusak sekitar 40% habitat laut di Zona Ekonomi Ekslusif. Jenis0jenis hewan di Naurupun menipis dan dapat dihitung dengan jemari. Cadangan air dan makanan mereka juga menipis. Kini mereka terpaksa mengimpor seluruh makanan dari Australia.

Tidak ada lahan hijau di sana. Uang yang selama ini mereka agungkan hanya tinggal kenangan. Mungkin jika harus memilih air dan segepok uang, mereka lebih memilih air unutuk saat ini. Menjadi pembelajaran bagi kita bahwa jika menghancurkan alam, maka kitalah sebenarnya yang akan hancur dengan sendirinya. Cintailah alammu, cintalah dirimu.

dikelola dari berbagai sumber

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai