Receh Saja


Si Alabio masih bingung apa yang akan ia lakukan. Dia pikir jika ke kiri salah, jika ke kanan salah, jika depan maupun ke belakang makin salah. Ia hanya terdiam tanpa gerak gerik yang mencolok. Tangannya sedikit bergerak sembari mencari sesuatu diantara celah-celah jarinya yang putih itu.



Berapa kali pikirnya ia mencari benda ini. Benda ini sebernarnya mudah dicari namun ketika ia lengah sedikit, benda ini hilang begitu saja. Ia pun mengangkatkan sepasang kakinya untuk berjalan entah kemana. Ia hanya bergumam untuk mencari sebuah kebenaran.

Terus ia mencari apa yang ia katakan. Ia mungkin tidak peduli lagi dengan benda yang ia cari pada celah jarinya ketika lampau yang lalu. Setahuku Si Alabio bukan orang yang suka dengan ilmu-ilmu yang entah apa namanya itu. Namun kali ini ia begitu serius untuk mencari suatu hal yang mungkin sebuah ilmu.

Ia pergi ke sana ke mari untuk berguru pada setiap orang yang ia temui. Ia mengambil yang baik dan membuang yang jahat ketika berbincang dengan beberapa kepala yang ditemuinya. Ia pergi ke mana saja tanpa tahu hasil pasti yang didapat. Ia menjelajahi daerah-daerah yang asing namanya ditelingaku. Ia berkelana ke Balimau, Dalam Pagar, juga Sekumpul. Ditiga nama daerah tersebut mungkin hanya Sekumpul yang familiar di telingaku.

Lama ia berkelana tidak ada kabar darinya. Setiap kali kutanya pada ibunya selalu jawaban, "Ia masih berkelana" yang menghampiri dahagaku. Hingga suatu saat ia berkirim surat yang entah apa isinya. Surat itu tertulis secara tebal alamat rumahku. Ia berujar pada suratnya.

"Terima kasih kepedulian engkau pada diriku. Di sini aku baik-baik saja. Hidupku tenang, perutku berisi, dan jiwaku gemuk atas namaNya. Entah kapan aku pulang, namun di sini aku merasa harus lebih lama. Banyak yang kujumpai di sini. Ada suatu hari, ketika aku sedang menghitung pohon di dekat rumah RT setempat, aku melihat lahan yang begitu luas. Lahan tersebut mungkin tambang atau apalah yang pasti aku kurang mengerti masalah itu. Di sana dikelilingi sebuah tulisan Bahasa Inggris yang begitu ku perhatikan. Kutanyakan kepada penduduk yang lewat. Ternyata lahan tersebut mempunyai hasil dalam rupiah yang menawan banyaknya. Namun sayang lahan tersebut dikuasai asing. Pantas pikirku lahan tersebut begitu banyak tulisan berbahasa Inggris. Yang anehnya sang pemilik tanah (negeri ini) hanya kebagian recehnya saja. Parah lagi penduduk setempat hidupnya bisa dibilang cukup melarat. Andaikan pikirku lahan tersebut dikelola pribumi setempat pasti mereka tidak perlu menjadi asing di rumah sendiri. Itu sedikit kisahku di sini. Aku tak tahu kapan pulang. Yang pasti ketika para pribumi ini sejahtera menikmati anugerah Tuhan di rumahnya sendiri, hampir dipastikan aku pulang dan menemui engkau wahai karibku".

Ia tutup surat itu dengan sebuah kutipan presiden pertama Republik ini yang mungkin menurutnya ada sangkut pautnya dengan apa yang ia tulis panjang lebar di surat itu.

Aneh pikirku. Selama ini ku kenal ia adalah sosok yang tidak begitu peduli dengan kata-kata nasionalis, patriotis, atau is is lainnya. Ia begitu berubah. Ia yang selama ini ku kenal sebagai orang yang tidak banyak bergerak bahkan cenderung kaku, berubah menjadi sesosok manusia yang begitu gencar membela kaum tertindas. Mungkin beberapa tahun lagi akan ada spanduk Calon Presiden bertuliskan Alabio nomor urut sekian. Atau mungkin ia tidak ingin jadi presiden, namun bermanfaat bagi sesama sudah cukup baginya tanpa Iming-iming  jabatan tinggi

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai