Ibroh dan Hikmah Kisah Dua Orang Pemilik Perkebunan


Di dalam Surat Al Kahfi mulai ayat 32 sampai 43 dikisahkan tentang dua orang pemilik perkebunan. Kisah ini merupakan tamsil kehidupan dunia dan orang-orang yang tertipu dengan kilauannya yang hanya merupakan fatamorgana dan kenikmatan sesaat. Inilah ayat-ayat yang menjelaskan kisah tersebut.

"Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang".

"Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan yang besar. Ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan kawannya itu, 'Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku pun lebih kuat'".

"Dia memasuki kebunnya, sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri (dengan bersikap angkuh dan kafir terhadap Allah). Ia berkata, 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang. Jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali lebih baik daripada kebun-kebun itu'".

"Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya tarkala bercakap-cakap dengannya, 'Apakah kamu kafir kepada Allah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Kalau aku, aku percayalah Dia-lah Allah, Robbku. Aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Robbku. Mengapa tatkala memasuki kebunmu kamu kamu tidak mengatakan, Masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku lebih kurang (kalah kekayaan) darimu dalam hal harta kekayaan dan anak, mudah-mudahan Robbku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini), dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, atau airnya menjadi surut ke dalam tanah. Jika sudah demikian, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi". 

"Harta kekayaan orang kafir itu lalu dibinasakan Allah. Ia membulak-balikan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya. Dia berkata, 'Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Robbku'".

"Dan tidak ada bagi dia segolongpun yang akan menolongnya selain Allah, dan sekali-kali Ia tidak dapat membela dirinya" (Q. S. Al Kahfi: 32-43)

Dalam kisah tersebut Allah merahasiakan identitas tempat, waktu, dan orang-orangnya. Kisah kesombongan manusia yang mendapat karunia Allah yang melimpah ruah itu sering dan banyak terjadi dimana-mana dan pada setiap waktu.

Sudah menjadi ketetapan-Nya bahwa Dia memberikan nikmat karunia-Nya kepada siapapun dari hamba-hamba-Nya. Namun pada umumnya manusia yang diberi limpahan karunia Allah tidak menerima anugerah-Nya itu dengan bersyukur. Justru sebagian besar dari mereka mengkufurinya. Mereka "lupa daratan", seolah-olah semua kenikmatan yang berhasil dikumpulkannya itu semata-mata karena hasil kecerdasan akal dan jerih payahnya. Mereka mengira segala kekayaan yang dimilikinya tidak ada hubungannya dengan kodrat-iradat Allah, dan tidak ada kaitannya dengan karunia serta cobaan Allah.

Manusia seperti itu tertipu oleh rasa congkaknya. Ia mengira kenikmatan yang melimpah ruah dapat menjamin kekekalan hidupnya. Karenya ia merasa bahwa ia tidak lagi membutuhkan pertolongan, rahman dan rahim dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah menciptakan dari tidak ada, dan Yang Maha Kuas atas segala sesuatu. Ia membusungkan dada dan mengadahkan kepala, mengira dengan hartanya itu bisa melepaskan diri dari kehendak Allah Ta'ala.

Di dalam beberapa firma-Nya Allah melukiskan manusia model begini:
"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar malampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup". (Al 'Alaq 6-7)

"Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong, dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa". (Al Israa' 83)

Dalam surat Al Kahfi, Allah juga hendak memberitahukan kepada kita sebab-sebab lenyapnya kenikmatan. Kisah pemilik perkebunan dalam Surat Al Kahfi mengandung hikmah dan pelajaran agar hendaknya kita selalu menyadari bahwa kesombongan dan mengingkari nikmat-Nya bisa melenyapkan segala kenikmatan yang kita miliki.

Di dalam surat Al Kahfi ayat 32-33 dijelaskan bahwa si pemilik perkebunan sudah menempuh cara-cara yang lazim untuk menyuburkan hasil bumi. Dia mengelola tanah dengan baik, menanam bibit, dan memberi pupuk yang baik. Dia juga membuat pengairan dan merawat kebun dengan telaten dan teratur, sehingga memberikan hasil yang melimpah ruah. Di dalam ayat-ayat tersebut dilukiskan bahwa bumi tidak menzalimi pemiliknya, karena memang, benar. Maka tidak mengherankan bila dia memperoleh hasil seperti yang diharapkan.

Namun sungguh amat disesalkan, karena merasa telah berupaya keras, manusia sering lupa dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya di balik sebab-musabab terdapat kodrat Sang Penyebab. Karenya, lewat kisah ini Allah ingin menyadarkan kita bahwa sebab-sebab itu sendiri (usaha kita) tidak bisa memberikan apa-apa bila tanpa ada "restu" dari Sang Maha Penyebab.

Kini timbul pertanyaan, mengapa Allah hendak menyadarkan kita mengenai hal ini? Dari kajian kisah di atas sudah jelas, Allah hendak memperingatkan kita agar jangan mengabdikan diri kepada sebab-musabab, kepada syarat-syarat, dan kepada berbagai sarana serta teknologi canggih, yang lalu melupakan Pencipta Sebab-musabab itu. Allah menghendaki agar kita jangan sampai terpedaya oleh gejolak kemajuan dunia, yang membuat manusia acapkali lalai dan bersikap sombong seolah-olah dia bisa melakukan dan mewujudkan apa saja yang diidamkan tanpa ada bantuan dan dukungan dari Allah, Maha Pencipta, dan Maha Menentukan segala-galanya.

Allah Ta'ala memperlihatkan kepada kita bagaimana akibat yang diderita manusia yang menyombongkan diri dan berlaku kufur, mengingkari nikmat-Nya. Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kesombongan dan kezaliman yang diperbuat oleh si pemilik kebun, di bawah ini kami petikkan ayat-ayat yang mengungkapkan hal itu.
"Dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika sedang bercakap-cakap dengannya. Katanya, "Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku pun lebih kuat!" Dan dia memasuki kebunnya, sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamnya". (Al Kahfi 34-35).

Dalam ayat di atas diterangkan bahwa ai pemilik kebun (yang telah mengingkari nikmat Allah) telah berlaku zalim terhadap dirinya sendiri. Dimana letak kezalimannya itu? Ya, dia dikatakan berlaku zalim karena dia telah merampas kodrat Allah. Dia mengatakan dengan bangga tentang kesuksesan usahanya, tentang hartanya yang melimpah, anak-anak yang banyak, seolah-olah semua itu hanya berkat ilmu dan jerih payahnya. Bahkan si pemilik kebun (yang kafir itu) telah berani-beraninya mengatakan dengan penuh kepastian bahwa kebunnya tidak akan musnah, dan harta kekayannya tidak akan habis. Dia juga bahkan telah melewati batas kekufurannya dengan mengatakan bahwa dia tidak percaya akan adanya hari kiamat

Demikianlah si pemilik kebun itu telah memungkiri datangnya hari kiamat, sekaligus hari kebangkitan. Ini bisa terjadi karena ia hidup bergelimangan dalam kenikmatan dunia. Ia berpendapat kenikmatan dunia itu akan kekal menyertainya. Ia lupa bahwa cepat atau lambat segala kenikmatan itu akan sirna dari dirinya, atau kalau tidak, ia sendirilah yang akan sirna dari peredaran, dan harta yang ditinggalkan dan ditumpukkannya tentu sudah tidak ada gunanya lagi baginya.

Allah SWT sangat tidak suka pada orang yang menetapkan kedudukannya di akhirat kelak, karena Allah tidak pernah memperlihatkan perkara gaib kepada siapapun, dan Dia tidak pernah mengadakan perjanjian dengan siapapun. Akan tetapi pemilik kebun yang kagir itu sudah mengaku aku bahwa di akhirat kelak dia akan tetap menjadi orang kaya, seperti halnya di dunia. Dia telah mengangkat dirinya menjadi hakim yang memutuskan hari depannya di akhirat kelak. Pada saat itu rekannya yang mukmin berusaha menyadarkannya.

Temannya yang mukmin hendak menyadarkannya dengan logika keimanan. Dia hendak menyadarkan temannya yang sudah mengkufuri nikmat Allah, dan memberi nasehat bahwa sudah seharusnya dia mensyukuri karunia-Nya.

Demikianlah Allah Ta'ala memusnahkan kenikmatan, mengeringkan mata air, dan membinasakan hasil buminya. Musibah ini untuk memberikan pelajaran kepada si pemilik perkebunan itu, dan juga kepada orang-orang yang hidup pada masa sekarang bahwa segala yang kita miliki, atau segala yang akan kita miliki tidak diperoleh hanya karena ilmu dan kebijakan kita, tetapi semua itu semata-mata karena kodrat dan iradat Allah.

Dalam kisah ini Allah SWT ingin memberikan dua contoh tentang kehidupan di dunia, yakni contoh keimanan dan kekafiran.

Apabila diberi karunia dan kenikmatan oleh Allah, orang mukmin akan berkata, "Allah-lah yang memberikan semua karunia itu kepadaku. Nikmat yang kuperoleh tergantung pada kodrat-irodat Allah semata".

Dari ucapan orang mukmin itu terlihat bahwa dia melihat pada hakikatnya, bukan pada materi karunianya. Diberi atau tidak diberi karnunia, banyak atau sedikit, bagi seorang mukmin tetap merupakan karunia.

Allah Ta'ala tidak memberikan harta yang cukup dan berlebihan kepada semua manusia. Ada sebagian manusia yang hanya diberi sedikit harta. Sungguh amat disayangkan, banyak diantara mereka yang tidak diberi karunia yang banyak oleh Allah itu menduga yang bukan-bukan. Mereka menyangka Allah membenci mereka dan tidak mengabulakan do'a serta tidak mau mendengar keluh kesahnya. Padahal pemberian harta yang sedikit dari Allah itu juga merupakan suatu karunia dan mengandung hikmah yang tinggi. Allah tidak memberikan harta yang melimpah ruah kepada mereka karena Maha Rahman dan Rahim-Nya. Allah menghawatirkan harta itu akan menggelincirkan mereka ke tempat-tempat maksiat yang diharamka-Nya. Jika sudah terjadi hal seperti ini maka dia harus bersiap-siap menjadi penghuni neraka.

Dengan demikian kita harus yakin bahwa segala pemberian nikmat dan karunia dari Allah itu mengandung hikmah. Adakalany Allah memberi harta kekayaan yang besar kepada seseorang, tetapi dalam waktu yang sama Allah merampas kesehatannya, sehingga ia tidak bisa menikmati hartanya yang bertumpuk itu dengan seeajarnya. Ada pula orang yang kalau kita lihat hartanya tidak melimpah, tetapi dia tetap tenang, sehat wal afiat dan kehidupannya barokah, sejahtera. Karena itu sekali lagi kami tekankan, karunia bisa mendatangkan kejahatan, dan bila kita tidak diberikan karunia berlimpah, maka kita harus tetap bersyukur, karena juatru inilah yang merupakan karunia hakiki, yang lebih aman dan terjamin.

Sumber: Kisah-kisah dalam Surat Al-Kahfi

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai