Riwayat Tembakau dari Eropa ke Nusantara


 

Lembah sungai Maranon di timur laut Peru menjadi saksi penemuan fosil yang diduga daun tembakau oleh Museum Paleontologi Meyer-Honniger pada 2010. Atas dasar ini beberapa ahli arkeologi berpendapat bahwa tanaman ini sudah lama tumbuh di Amerika Tengah sebelum sejak tahun 6000 SM. Pada perkembangannya tanaman tembakau ini dibudidayakan mulai dari Meksiko sampai ke Antila dan Florida.

 

Orang Eropa yang pertama kali mengenal tembakau ialah Christopher Columbus ketika berhasil mendarat di benua Amerika. Ia beserta anak buah kapalnya melihat secara langsung orang-orang Indian mengonsumsi tembakau dengan berbagai cara seperti dikunyah, dicium, dan dihisap sebagai rokok secara langsung maupun memakai media pipa dan cerutu. Columbus melihat bahwa orang-orang Indian yang mengkonsumsi tembakau tersebut harus bersusah payah untuk medatangkannya terlebih dahulu dari Brazil. Alhasil mereka harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk dapat menikmati tembakau.  Interaksi yang begitu lama antara Columbus dan orang-orang Indian membuatnya tertarik terhadap tembakau. Ia lalu membawa tradisi mengkonsumsi tembakau ini ke Eropa

 

Terdapat dua jenis tembakau yang umum dibudidayakan di kawasan Amerika yaitu Nicotina Tobacum dan Nicotina Rustica. Khusus untuk jenis tembakau Nicotina Rustica dikenal memiliki kadar nikotin yang lebih tinggi. Dua jenis tembakau inilah yang pertama kali dikembangkan di Eropa tepatnya Perancis oleh Jean Nicot dan Andre Thevet. Mereka masing-masing mengembangkan salah satu jenis tembakau, Jean Nicot mengambakan Nicotina Tobacum dan Andre Thevet mengembangkan Nicotina Rustica. Dari Perancis tembakau mulai menyebar di Eropa melalui Italia dan Jerman. Konsumsi tembakau dalam bentuk rokok menjadi budaya yang cepat berkembang di Eropa juga menyebar ke Cina dan negara benua Asia lainnya.

 

Orang-orang Eropa pertama kali membawa tembakau di Nusantara ketika Portugis berhasil tiba di Maluku. Namun, masyarakat Nusantara tidak langsung menerima budaya konsumsi tembakau dalam bentuk rokok. Pendapat lain mengungkapkan bahwa masyarakat Nusantara sudah mengenal tembakau jauh sebelum Portugis datang.

 

Masyarakat Nusantara mengenal tradisi makan sirih atau menginang yang didalamnya terdapat tembakau sebagai bahannya. Jika dilacak lebih lanjut maka akan ditemukan pada relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang mengunyah sirih beserta tempat membuang ludah. Candi ini dibangun pada abad ke-8 jauh sebelum datangnya Portugis.

 

Kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara berhasil mengubah tradisi pemakaian tembakau. Belanda yang menjajah Indonesia mencoba memproduksi tembakau di Jawa dan Sumatera pada pertengahan abad ke-19. Sumatera Utara tepatnya di Deli merupakan produksi pertama tembakau jenis Virginia oleh Belanda. Tembakau ini dijual ekspor untuk menjadi bahan utama cerutu. Lalu, pada tahun 1860 dibuka perkebunan tembakau cerutu jenis Na-oogst di Jember dan Besuki.

 

Seiring berjalannya waktu berbagai jenis tembakau mulai ditanam oleh rakyat biasa di beberapa daerah Jawa. Seperti di Garut, Temanggung, Wonosobo, Lumajang, Bojonegoro, Boyolali, Weleri, Kendal, Madura, Klaten, dan Lumajang. Tembakau-tembakau yang diproduksi di Jawa ini sering disebut Tembakau Jawa ketika sudah berada di Eropa untuk di ekspor. Sementara, tembakau yang ditanam di Deli dinamakan Tembakau Sumatera.

 

Tembakau juga diproduksi di Lombok dan sebagian daerah Bali. Hasil produksi tembakau yang ditanam sendiri oleh rakyat boasanya dijadikan bahan baku untuk kretek, rokok tradisional, dan untuk sekedar dikunyah. Sementara itu, di Kudus penikmat rokok kretek begitu banyak. Hal ini bermula ketika Haji Djamhari menderita sakit dada. Ia lalu mencoba mengoleskan minyak cengkeh di dada dan pundaknya sehingga sakit dadanya sedikit berkurang walau belum sembuh total. Haji Djamhari lalu mencampurkan rajangan cengkeh dengan tembakau yang biasa ia nikmati. Tembakau dan cengkeh ini dibungkus di daun jagung dan ditali dengan benang. Rokok yang dicampur cengkeh ini ternyata mujarab menghentikan sakit dada karena cengkeh tersebut langsung meresap ke paru-paru.

 

Kabar ini cepat menyebar di lingkungan Haji Djamhari sehingga banyak orang berbondong-bondong datang untuk dibuatkan rokok tersebut. Rokok ini ketika dibakar lalu dihisap mengeluarkan bunyi kretek-kretek. Sehingga rokok dengan campuran cengkeh ini dinamakan kretek yang menjadi ciri khas rokok Nusantara.

 

Refrensi: Kretek IndonesiaL Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya. Diterbitkan atas Kerhjasama Jurusan Sejarah FIB UGM dengan Puskindo tahun 2014


Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai