Latar Belakang Perang Tiongkok-Jepang




Perang Tiongkok-Jepang yang terjadi pada 7 Juli 1937 sampai 9 September 1945 merupakan perang Asia tersebar yang terjadi pada abad ke-20. Perang ini semakin membesar setelah penyerangan Pearl Harbour yang menuntun bergabung dengan Perang Dunia II.

Kuomintang  (Partai Nasionalis Tiongkok) melakukan Ekspedisi Utara pada tahun 1926-1928. Ekspedisis Utara ini terus meluas sampai akhirnya terhenti di Shandong. Ketika itu Shandong berada dalam kekuasaan Jepang setelah direbut dari Jerman.

Jepang memanfaatkan situasi terpecah belahnya Tiongkok di bawah pemerintahan Beiyang. Kuomintang yang bersebrangan dengan Beiyang dimanfaatkan Jepang dengan mendukung salah satu pihak, yaitu Beiyang. Zhang Zongchang yang merupakan pemimpin militer Beiyang berusaha membendung usaha Pasukan Kuomintang untuk menyatukan Tiongkok. Situasi semakin memanas ketika Kuomintang terlibat pertempuran dengan Jepang pada Insiden Jihan tahun 1928. Pada ahun yang sama, pemerintahan Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek dalam usahanya berhasil menyatukan Tiongkok.

Namun pertempuran antara Tiongkok dan Jepang tidak terhenti. Hal ini dikarenakan meningkatnya nasionalisme Tioongkok dan dalam rangka memenuhi “Tiga Prinsip Rakyat”, yaitu mengeluarkan Tiongkok dari imperialisme asing.

Ekspedisi Utara yang menyatukan Tiongkok selebihnya hanya secara nama saja. Masih ada perang saudara yang pecah antara mantan pemimpin militer dengan Kuomintang. Para Komunis Tiongkok juga melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Atas situasi seperti ini, maka pemerintah pusat Tiongkok melakukan kebijkan untuk melakukan perdamain di internal sebelum melawan pihak asing. Kesibukkan Tiongkok mengurus urusan internal dimanfaatkan dengan jeli oleh Jepang.

Jepang melancarkan serangan ke Manchuria pada tahun 1931 setelah terjadinya insiden Mukden. Pertempuran yang berlangsung selama lima bulan menngakibatkan terbentuknya negara boneka Manchukuo dengan kaisar Tiongkok yang bernama Puyi sebagai kepala negara.

Jepang yang begitu gencarnya menyerang, membuat Tiongkok meminta bantuan terhadap Liga Bangsa-Bangsa (sekarang PBB). Hasilnya terbitlah Laporan Lytton yang menyebutkan mengutuk Jepang karena telah menyerang Manchuria. Jepang memutuskan untuk mengundurkan diri dari lembaga tersebut. Jepang beranggapan bahwa Manchuria sebagai daerah dengan bahan baku yang tidak terbatas dan dapat menjadi negara penyangga dari pengaruh Uni Soviet.

Insiden Mukden berujung panjang. Di Shanghai tentara Tiongkok dan Jepang terlibat pertarungan singkat yang dikenal dengan sebutan Insiden 28 Januari. Hal ini berakibat rugi bagi Tiongkok, karena menghasilkan demiliterisasi Shanghai. Tiongkok dilarang untuk menempatkan tentaranya di kota mereka sendiri. Pada tahun 1933, Jepang kembali melakukan penyerangan. Wilayah “Tembok Besar” menjadi sasaran bagi tentara Jepang. Setelah penyerangan tersebut terjadi “Gencatan Senjata Tanggu” yang ditandatangani dan memerikan Jepang kendali atas provinsi rahe dan sebuah zona demiliterisasi antara Tembok Besar dan wilayah Beiping-Tianjin. Jepang berusaha untuk membuat wilayah penyangga yang lain, kali ini antara Manchukuo dan pemerintah Nasionalis Tiongkok yang saat itu beribukota di Nanjing.

Jepang juga mengupayakan bekerjasama dengan kekuatan regional untuk merusak usaha pemerintah nasionalis dalam menyatukan Tiongkok. Pada tahun 1935, Tiongkok menandatangani “Perjanjian He-Umezu” di bawah tekanan Jepang. Isi perjanjian tersebut ialah Kuomintang  dilarang menjalankan kegiatan partainya di Herbei dan secara langsung mengakhiri kekuasaan Tiongkok atas Tiongkok Utara. Tiongkok kuga menandatangani “Perjanjian Chin-Doihara” yang mengakibatkan Kuomintang disingkirkan dari Chabar. Oleh karena itu, pemerintahan pusat Tiongkok telah disingirkan dari Tiongkok Utara dan diganti dengan “Majelis Otonomi Hebei Timur” dan “Majelis Politik Hebei-Chabar” yang dibentuk oleh Jepang.

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai