Cara NU Membiayai Muktamar pada Zaman Penjajahan Belanda



Pada tahun 2015 Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan muktamar ke-33 di Jombang. Penyelenggaraan muktamar ini dibantu oleh APBD Provinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10 M dan APBD Kabupaten Jombang yang diserahkan kepada NU sebesar Rp. 1 M. Namun, bagaimana NU membiayai muktamarnya ketika zaman kolonial yang ketika itu sektor pemerintahan dikuasai oleh Belanda.

Bagi para pengurus NU pada zaman itu tidak pernah terlintas untuk meminta bantuan pendanaan dari pemerintah Kolonial Belanda. Walau diberi secara cuma-cuma  dana tersebut akan tetap ditolak.

Pada tahun 1934, NU menyelenggarakan muktamar ke-9 di Banyuwangi. Laporan keuangan muktamar ini dapat dilacak pada Origineel 17 October 1934 Verantwording Congers Nahdlatoel Oelama jang ke-9 di Kotta Banjoewangi yang terkumpul biaya sebesar f. 1882.98 (f merupakan symbol mata uang yang digunakan pada zaman tersebut). Dalam laporan tersebut disebutkan struktur perbendaharaan yang di ketuai (President) oleh Machmoet, R. Tedjosoekarto sebagai sekretaris, dan R.H. Hamdjah sebagai kassier.

Sumber pendanaan muktamar ke-9 di Jombang ini didapat dari lima sumber. Sumber Pertama berasal dari Oewang borg Tjabang Nahdlatoel Oelama Banjoewangi atau PCNU Banyuwangi yang memberikan dana sebesar f. 220.50 yang berasal dari uang kas. Dulu setiap orang yang ingin menjadi anggota NU diharuskan membayar 10 sen. Setelah itu diwajibkan membayar iuran bulanan sebesar separuh harga dari biaya awal masuk menjadi anggota. Hal ini tertera dalam Kitab Oemoem Atoeran Roemah Tangga Bagian Oemoem dan Bagian Harta Hobfstur Nahdlatoel Oelama 1926.

Sumber dana yang Kedua ialah berasal dari Oewang derma lisjt dari Tjabang Nahdlatoel Oelama sebesar f. 883.12. Setiap kali diselenggarakannya muktamar NU, cabang-cabang NU di berbagai daerah dikenakan iuran. Dilihat dari laporan keuangan jumlah iuran yang diserahkan cabang-cabang NU tersebut berbeda-beda. Mungkin tidak ada patokan khusus jumlah besaran iuran yang harus disetor.

Cabang-cabang NU yang menyetor dana untuk penyelenggaraan muktamar didapat dari pemasukan kas atau lewat iuran para anggotanya. Dalam buku biografinya, Kyai Muchit menuturkan bahwa setiap anggota NU diminta membayar iuran sebesar 20 sen. Beliau juga berkisah pada buku nya tersebut bahwa ada seorang yang bernama Kyai Mu’thi yang rela menempuh jarah dari Ngawi ke Banyuwangi untuk menghadiri muktamar dengan hanya menggunakan sepeda gayung demi menghemat biaya.

Sumber biaya Ketiga berasal dari Oewang derma lisjt Tjabang Nahdlatoel Oelama Banjoewangi. Besar kemungkinan pendapatan sumber dana ketiga ini didapat dari uang derma yang diberikan seikhlasnya. Dari hasil ini didapat dana sebesar f. 16.45. Yang Keempat pendanaan muktamar NU di Banyuwangi ini juga dibantu oleh Derma makanan dari pendoedoekan Banjoewangi Matjem.

Sumbangan bahan makanan dari penduduk Banyuwangi punya sumbangsih besar. Dalam laporan tersebut terkumpul dana f. 55.65. Tidak di muktamar Banyuwangi, ketika muktamar di Jakarta setelah perang kemerdekaan NU Banyuwangi juga bergerak dengan mengirimkan 100 kwintal beras untuk dikonsumsi.

Ormas Islam di Indonesia seperti halnya Nahdlatul Ulama dan tidak ketinggalan Muhammadiyah memang punya peran special bagi masyarakat Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Betapa tidak dalam kondisi terhimpit seperti itu NU tetap mampu menyelenggarakan muktamar dengan bantuan kesatuan para anggotanya dan masyarakat Islam di Indonesia.


Sumber:  nu.or.id

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai