Perdamaian Yerusalem di Masa Lalu


Yerusalem merupakan salah satu kota peradaban yang menjadi kota suci bagi pemeluk agama samawi. Kota ini diyakini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hal ini yang dapat dibuktikan dengan adanya riwayat para nabi yang mengunjungi kota ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah singgah ke Yerusalem sebelum melaksanakan Isra’ dan Mi’raj.

 

Umat Islam juga menyebut kota ini dengan nama Al Quds yang artinya tempat suci. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab umat Islam berhasil menaklukkan Yerusalem dengan cara damai. Ketika itu tahun 637 M pasukan Islam berhasil mendekati kota Yerusalem.

 

Uskup Sophronius sebagai kepada Gereja Kristen Yerusalem tidak bersedia menyerahkan Yerusalem begitu saja kepada pasukan tersebut. Ia akan menyerahkan Yerusalem dengan syarat yang menerima adalah khalifah saat itu.

 

Mendengar hal ini Khalifah Umar bin Khattab bergegas pergi ke Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai. Khalifah Umar bin Khattab ditemani seorang pengawalnya. Publik Yerusalem menunggu kehadiran Khalifah Umar bin Khattab yang dikenal sebagai pemimpin Islam yang tegas.

 

Ketika sampai di Yerusalem Uskup Sophronius akhirnya melihat secara langsung kedatangan Khalifah Umar bin Khattab. Ia merasa kagum dengan kesederhanaan Khalifah Umar bin Khattab sebagai seorang pemimpin. Khalifah Umar bin Khattab memakai pakaian yang lusuh apa adanya yang tidak jauh berbeda dengan pakaian pengawalnya.

 

Hal ini merupakan pemandangan yang luar biasa menurut Uskup Sophronius. Ia lalu mengajak Khalifah Umar bin Khattab untuk mengelilingi kota Yerusalem. Khalifah Umar bin Khattab diajak mengunjungi Gereja Makam Suci yang menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di sana.

 

Bahkan Uskup Sophronius mempersilakan Khalifah Umar bin Khattab untuk sholat di dalam gereja. Namun, hal ini ditolak secara halus oleh Khalifah Umar bin Khattab. “Jika mendirikan shalat dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai masjid.”

 

Khalifah Umar bin Khattab khawatir jika beliau sholat di gereja tersebut maka kaum muslimin akan mengambil alih gereja tersebut dengan alasan Khalifah Umar bin Khattab pernah sholat di sana. Khalifah Umar bin Khattab lebih memilih menunaikan sholat nya di luar gereja.

 

Hubungan harmonis antara umat Islam dan Kristen ini dijaga betul oleh Khalifah Umar bin Khattab. Hal ini dibuktikan dengan adanya Perjanjian Aelia:

 

Atas penduduk Aelia (Yerusalem) diwajibkan membayar jizyah sebagaimana jizyah itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain (di Syria). Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-orang Romawi dan kaum al-Lashut dari Aelia (Yerusalem). Tetapi jika dari mereka (orang-orang Romawi) ada yang keluar (meninggalkan Aelia) maka ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi). Dan jika ada yang mau tinggal, maka ia pun akan dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib mereka, maka keamanan mereka dijamin berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi). Dan siapa saja yang telah berada di sana (Aelia) dari kalangan penduduk setempat (Syria) sebelum terjadinya perang tertentu (yakni, perang pembebasan Syrya oleh tentara Muslim), maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan tetap tinggal, dan ia diwajibkan membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia; dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung dengan orang-orang Romawi, atau jika ia menghendaki ia boleh kembali kepada keluarganya sendiri. Sebab tidak ada suatu apa pun yang boleh diambil dari mereka (keluarga) itu sampai mereka memetik panenan mereka. Atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya, perlindungan para Khalifah dan perlindungan semua kaum beriman, jika mereka (penduduk Aelia) membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.

 

Menjadi saksi atas perjanjian ini Khalid Ibn al-Walid, Amr Ibn al-Ashsh, Abdurrahman Ibn Auf, dan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Ditulis dan disaksikan tahun lima belas (Hijriah). (Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Zaman-Serambi, 2009, hal. 95. Meski dalam redaksi Arabnya tertulis Elia, sebagaimana dalam Tarikh Al-Quds Al-Arabiyyah, tetapi dalam menerjemahkan perjanjian tersebut, penerjemah menggunakan istilah Yerusalem. Lihat pula: Muin Hasib Farajullah, Tarikh Al-Quds Al-Arabiyyah, Yerusalem: Daru Saad As-Shabah, 1997).

 

Khalifah Umar bin Khattab mempersilakan kebebasan beribadah kepada setiap pemeluk agama baik itu Kristen maupun Yahudi. Memang dalam perjanjian tersebut disebutkan pelarangan bagi orang Yahudi untuk tinggal di Yerusalem. Hal ini merupakan permintaan dari Uskup Sophronius. Khalifah Umar bin Khattab menanyakan hal ini kepada Uskup Sophronius. Alasannya ialah bahwa orang Kristen tidak menyukai hidup berdampingan dengan orang Yahudi.

 

Alhasil, Khalifah Umar bin Khattab membagi wilayah Yerusalem agar tidak tercampur antara orang Yahudi dan Kristen. Sejak saat itu kota Yerusalem dikenal dengan kota multi agama yang pemeluknya hidup saling berdampingan.

 

Sumber:  nu.or.id


Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai