Pertempuran 9 November 1945 Banjarmasin


Menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 membuka jalan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dua hari berselang tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia benar-benar terjadi. Namun, perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak berhenti sampai disitu.

 

Belanda yang merupakan bagian dari Sekutu mencoba mengambil alih wilayah Indonesia yang telah ditinggalkan Jepang. Tidak terkecuali wilayah Kalimantan Selatan. Pada tanggal 17 September 1945 tentara NICA (Netherlands-Indies Civiele Administration) membonceng pasukan Sekutu yang tiba di halaman Pelabuhan Banjarmasin. Mereka menggunakan sebuah pesawat terbang amphibi yang membawa beberapa orang perwira penghubung.

 

Kedatangan pasukan NICA ini membuat atmosfer di Kalimantan Selatan memanas. Ditambah dengan pelarangan pawai bendera Merah Putih pada tanggal 10 Oktober 1945. Larangan ini ditujukan kepada seluruh wilayah Kalimantan Selatan.

 

NICA memperkokoh posisinya di Kalimantan Selatan dengan memberi jabatan kepada Pangeran Musa Ardikesuma. Padahal sebelumnya Pangeran Musa Ardikesuma ditunjuk oleh Komite Nasional Indonesia Daerah Kalimantan untuk menjadi Residen RI di Kalimantan Selatan.

 

Ini merupakan pukulan telak bagi para pejuang yang dari segi politik telah dikalahkan oleh NICA. Mereka lalu mengubah taktik dengan memusatkan kekuatan ke perjuangan fisik. Para pejuang yang dipimpin oleh M, Amin Effendie bersama Abdul Kadir Uwan dan Hadhariah M, membentuk  Barisan Pemberontak Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK). Barisan ini dihimpun para pemuda dari Banjarmasin dan sekitarnya terutama para bekas Heiho terlatih di zaman Jepang.

 

BPRIK tidak hanya memusatkan kekuatannya di Banjarmasin tapi juga sampai ke wilayah Hulu Sungai. Di daerah Tapin BPRIK dipimpin oleh Haji Makki dan Haji Mahyudin.

 

Pada tanggal 1 November 1945 terjadi insiden di Pasar Baru Banjarmasin. Ketika itu sejumlah pemuda sedang berkumpul membaca sebuah pamflet. Tiba-tiba tentara NICA merobek begitu saja pamflet yang sedang dibaca oleh pemuda tersebut. Alhasil hal ini membuat mereka naik pitam. Para pemuda tersebut memukuli tentara NICA yang mencari masalah terhadap mereka sampai pingsan. Sementara tentara NICA lainnya memilih untuk melarikan diri. Ketegangan ini membuat tentara NICA meningkatkan kewaspadaannya.

 

BPRIK mulai beraksi dengan merencanakan penyerangan terhadap kantor dan tangsi polisi Belanda untuk merampas senjata. Pembagian tugas pun dilakukan dengan menempatkan tiga pimpinan di sektor masing-masing. Badran di sektor selatan sekitar Rumah Sakit Ulin, Abdul Kadir Uwan di sektor Utara, dan M. Amin Effendie di sektor tengah selaku pimpinan umum.

 

Sasaran kantor dan tangsi Belanda (NICA) ialah di daerah yang sekarang bernama Jl. D.I. Panjaitan. Para pejuang juga akan menyerang Rumah Sakit Ulin yang menjadi tempat tawanan tentara NICA ketika pendudukan Jepang, juga Benteng Tatas (sekarang Masjid Raya Sabilal Muhtadin), dan Pelabuhan Lama Martapura di Sungai Martapura yang menjadi tempat dua buah kapal Cruiser milik Sekutu yang menjadi penyimpanan senjata.

 

Serangan BPRIK ini dilakukan pada tanggal 2 Novenber 1945 yang dipimpin oleh M. Amin Effendie. Para pasukan BPRIK berhasil merampas sepucuk karaben dari target penyerangan. Mereka bergerak pada malam hari dan terjadi pertempuran sekitar dua setengah jam.

 

Serangan ini berdampak buruk bagi penduduk Banjarmasin di Pasar Lama. Tentara NICA mengetahui persembunyian BPRIK di Pasar Lama dan menangkap pimpinannya Mahlan SB. Atas kejadian ini maka tempat persembunyian BPRIk dipindahkan ke Benua Anyar. Selain itu, tentara NICA Belanda juga membuat ancaman serius terhadap para pejuang. Mereka menembaki asrama Heiho Banjarmasin yang dianggap mereka sebagai sisa markas BPRIK.

 

Kepindahan markas BPRIK ke Benua Anyar disambut antusias bagi pemuda setempat. Mereka membentuk satuan gerakan Sabilillah yang terdiri dari 90 orang. Gerakan ini dipimpin oleh Halid Tafsiar dan Utuh Buaya sebagai wakil.

 

Di markas ini pula dirumuskan beberapa hal setelah diadakan rapat. Hasil rapat tersebut ialah mengadakan kontak (jika mungkin) dengan anggota polisi NICA berkebangsaan Indonesia guna mendapatkan senjata api, mengajak rakyat Banjarmasin secara lebih luas untuk mengadakan aksi khususnya kepada orang-orang Cintapuri yang terkenal sebagai pemuda militan, pemberian ‘ilmu dalam’ kepada para pemuda siap tempur, dan terakhir penyerangan yang lebih besar direncanakan yang akan ditentukan hari ‘H’ nya diputuskan waktu siang hari.

 

Para pejuang memutuskan untuk menyerang titik sentral tangsi polis NICA yang diteruskan menyerang markas Kompi Betet dan berakhir di Kompi X Kelayan. Pertempuran mereka strategikan secara frontal koordinatif.

 

Maka diputuskan serangan dilakukan bertepatan hari Jum’at 9 November 1945 pada lewat tengah hari. Pasukan pimpinan M. Amin Effendie berada di sektor tengah pertempuran dengan membawa 300 pasukan. Sementara sayap kiri dipimpin oleh Mas Untung Sabri dengan 110 pasukan. Sementara sayap kanan terdiri dari 90 pasukan yang dipimpin oleh Halid Tafsiar. Serangan ini spontan dibalas NICA Belanda dengan persenjataan yang dilengkapi panser dan senjata modern lainnya.

 

Usaha terus dilakukan oleh para pejuang untuk menembus ke Kompi X Kelayan. Masing-masing sayap pasukan memilih jalan pintas untuk segera mencapai target penyerangan. Tentara NICA Belanda yang mempunyai senjata lengkap membuat para pejuang terpaksa menyingkir sedikit demi sedikit.

 

Dalam pertempuran ini gugur beberapa pejuang yang membela tanah airnya yaitu Badran, Badrun, Utuh, Sepa, Dulah, Umar, Ta’in, Jumain, dan Ma’rupi. Setelah pertempuran 9 November 1945 ini NICA Belanda mengetahui markas BPRIK di Benua Anyar. Pimpinan pejuang M. Amin Effendie dan Halid Tafsiar lalu ditangkap oleh Belanda.

 

Sumber:   Lahirnya ALRI Divisi IV Petahanan Kalimantan” oleh Drs. H. Syamsiar Seman


Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai