Matematika Pengembleng Karakter Bangsa
Anekdot beterbangan di zaman ini. Mulai dari yang fakta sampai yang khayalan semata. Berkhayal memang tidak dilarang oleh saudaramu, orangtuamu, bahkan negara sekalipun. Namun apakh hidup kita hanya untuk dihabiskan untuk berkhayal?
Tentu tidak. Karena cobalah berpikir dengan ilmu pasti yang sudah ditemukan oleh pendahulu-pendahulu kita. Banyak sekali contohnya, dari Ilmu alam, sosial, sastra, hingga hitung-menghitung. Khususnya hitung-menghitung ini, banyak sekali para pemuda yang angker ketika mendengarnya. Bisa disebutkan itu. Antara lain, matematika, fisika, maupun lainnya yang entah apalah namanya itu. Aneh juga yaa, masa takut dengan sebuah kata yang tidak menggigit, tidak berbisa juga berbulu. Jadi anda lebih takut kata tersebut daripada para hantu. Terus kemana selama ini peran para hantu yang harusnya lebih menyeramkan. Apakah perlu mereka para hantu menempuh pendidikan dengan jenjang tertentu, agar kedepannya terdapat sarjan-sarjana hantu. Contohnya sarjana menakuti di siang bolong, maupun lainnya. Anehkan jadinya, bahkan ribet dalam penyingkatan gelar sarjana. Masa Sarjana Menakuti di Siang Bolong harus disingkat menjadi, SMSB.
Yaa itulah sedikit cerita mengharukan pemuda Indonesia. Tapi untuk apa kita takut? Sebenarnya kata takut kurang tepat. Karena dasarnya mereka tidak takut dengan matematikanya tetapi dengan nilainya. Dan begini ganti kata "takut" dengan "gengsi" jadi mereka "gengsi nilai". Gengsi jika tidak mendapat nilai tinggi, gengsi jika tidak melebihi nilai rival, dan juga gengsi jika nilai lebih rendah dengan seorang wanita yang dianggapnya spesial. Hingga masalahnya mereka akan melakukan apapun untuk mendapat nilai yang tinggi. Baik itu mencontek, melirik kunci jawaban, atau dengan membuka buku. Padahal ini tidak terjadi pada matematika saja, namun juga dengan mata pelajaran lainnya. Sekarang saya tanya untuk apa kita harus gengsi? Untuk tenar? Ok, anda memang tenar di kalangan manusia, tapi tidak dengan yang Di Atas.
Disinilah karakter bangsa terlihat. Jika dari kecil sudah biasa berbuat curang, kedepannya mungkin akan seperti itu juga. Tidak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, di sana, di senayan sudah berapa orang yang mengaku-ngaku sebagai wakil rakyat dtangkap dengan rompi yang bertuliskan "Tahanan KPK".
Mereka siap berbuat apa saja untuk dapat memperkaya diri sendiri.
Tapi tidak semua calon-calon penerus bangsa ini seperti itu. Masih banyak mereka yang di sana dengan sikap patiotik mengakui kekalahan mereka walaupun sakit. Tapi mereka jujur, mereka siap menaggung segala risiko yang akan terjadi. Entah itu cemoohan, hasutan, ataupun rasa hina. Tapi cemoohan yang ia dapatkan merupakan sikap patriotik seorang prajurit. Karena mereka tidak berdiri di atas sungai keruh namun berdiri dengan gagahnya di atas gunung yang kaya akan emas.
Tentu tidak. Karena cobalah berpikir dengan ilmu pasti yang sudah ditemukan oleh pendahulu-pendahulu kita. Banyak sekali contohnya, dari Ilmu alam, sosial, sastra, hingga hitung-menghitung. Khususnya hitung-menghitung ini, banyak sekali para pemuda yang angker ketika mendengarnya. Bisa disebutkan itu. Antara lain, matematika, fisika, maupun lainnya yang entah apalah namanya itu. Aneh juga yaa, masa takut dengan sebuah kata yang tidak menggigit, tidak berbisa juga berbulu. Jadi anda lebih takut kata tersebut daripada para hantu. Terus kemana selama ini peran para hantu yang harusnya lebih menyeramkan. Apakah perlu mereka para hantu menempuh pendidikan dengan jenjang tertentu, agar kedepannya terdapat sarjan-sarjana hantu. Contohnya sarjana menakuti di siang bolong, maupun lainnya. Anehkan jadinya, bahkan ribet dalam penyingkatan gelar sarjana. Masa Sarjana Menakuti di Siang Bolong harus disingkat menjadi, SMSB.
Yaa itulah sedikit cerita mengharukan pemuda Indonesia. Tapi untuk apa kita takut? Sebenarnya kata takut kurang tepat. Karena dasarnya mereka tidak takut dengan matematikanya tetapi dengan nilainya. Dan begini ganti kata "takut" dengan "gengsi" jadi mereka "gengsi nilai". Gengsi jika tidak mendapat nilai tinggi, gengsi jika tidak melebihi nilai rival, dan juga gengsi jika nilai lebih rendah dengan seorang wanita yang dianggapnya spesial. Hingga masalahnya mereka akan melakukan apapun untuk mendapat nilai yang tinggi. Baik itu mencontek, melirik kunci jawaban, atau dengan membuka buku. Padahal ini tidak terjadi pada matematika saja, namun juga dengan mata pelajaran lainnya. Sekarang saya tanya untuk apa kita harus gengsi? Untuk tenar? Ok, anda memang tenar di kalangan manusia, tapi tidak dengan yang Di Atas.
Disinilah karakter bangsa terlihat. Jika dari kecil sudah biasa berbuat curang, kedepannya mungkin akan seperti itu juga. Tidak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, di sana, di senayan sudah berapa orang yang mengaku-ngaku sebagai wakil rakyat dtangkap dengan rompi yang bertuliskan "Tahanan KPK".
Mereka siap berbuat apa saja untuk dapat memperkaya diri sendiri.
Tapi tidak semua calon-calon penerus bangsa ini seperti itu. Masih banyak mereka yang di sana dengan sikap patiotik mengakui kekalahan mereka walaupun sakit. Tapi mereka jujur, mereka siap menaggung segala risiko yang akan terjadi. Entah itu cemoohan, hasutan, ataupun rasa hina. Tapi cemoohan yang ia dapatkan merupakan sikap patriotik seorang prajurit. Karena mereka tidak berdiri di atas sungai keruh namun berdiri dengan gagahnya di atas gunung yang kaya akan emas.
Comments
Post a Comment