Hatinya






Dia adalah manusia, sama seperti kita. Dia dilahirkan dengan sepasang kaki dan tangan, juga dua buah mata yang begitu indah. Dia hidup seperti kita juga. Lumrahnya sebagai manusia, dia makan paling tidak, tiga kali sehari lengkap dengan lauk pauk pilihannya. Dia juga minum pastinya. Dengan air pilihan dari Yang Maha Pemurah, dia tumbuh sebagai manusia.




Pastinya orang sekitarnya mengenal dia. Dia sekarang agak memojok ke samping kanan. Lumayan jauh dari sumber yang ada. Terkadang dia heboh sendiri, entah apa yang membuatnya begitu. Yang pasti dia tidak sendiri mendapat kehebohan. Yang lain juga tertular. Mereka tertawa bersama.

Dia merenung. Apa yang dia renungkan aku tak tahu. Yang pasti itu kelihatannya sangat jauh. Entah kemana yang pasti jauh. Mungkin dia peduli. Untuk itu dia merenung. Memikirkan nasib orang lain. Dia peduli dengan orang lain. Walaupun dirinya tidak diperdulikan sekitarnya ketika dia terjatuh.

Tersandung, hingga terjatuh. Ada luka juga. Entah apa yang menyandungnya tapi itu kelihatannya begitu besar. Tapi dengan darah yang mengeluar deras, dia mencoba berdiri. Walaupun sedikit terpincang dia mencoba berlari. Berlari dari segala sandungan-sandungan di dekatnya. Dia berlari dengan ringan, bagaikan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Hingga pada suatu saat Tuhan menunjukkan sebuah jalan. Jalan yang dihuni sebuah tembok beserta tikar untuk dia berbaring sejenak. Juga ada kapas di sana. Lumayan kapas itu baginya untuk membersihkan lukanya. Walaupun nyeri masih ada. Tapi sejenak dia dapat bernafas menghirup udara sejuk.

Tembok beserta tikar dan kapas yang dia temukan terasa begitu spesial baginya. Namun kadang anehnya tembok beserta kawan-kawannya itu seperti menjauh darinya. Tapi dia terus mengejarnya. Hingga suatu saat sudah cukup baginya untuk itu.

Tembok beserta kawan-kawannya merasa aneh, ada yang hilang. Hampa terasa. Semua begitu gelap sepertinya. Jika tembok beserta kawan-kawannya berjalan tidak juga mendapat apa yang hilang dari mereka. Mereka pikir semuanya lengkap. Tapi tetap saja ada yang terngiang di benak mereka. Tentu itu sesuatu spesial. Pastinya harus terus dicari. Ini juga bagaikan pencarian besar. Melebihi ketika Adam a.s mencari tulak rusuknya yaitu Hawa. Iya, Adam dan Hawa.

Hingga sampailah tembok beserta kawan-kawannya pada jurang yang dalam. Mereka termanung, bingung, dan pasrah. Mereka tidak menemukan apa yang mereka cari. Hingga Tuhan menegur mereka. Yang Maha Pemurah memberikan suatu petunjuk pada mereka. Tentu mereka dengan lekas mengikuti petunjuk tersebut. Hingga mereka tersadar yang mereka cari adalah dia yang pernah singgah kepada mereka.

Dia seperti biasa tersenyum walau luka merangkul tubuhnya. Dan ketika mereka menemui dia, mereka agak sedikit canggung tanda dosa-dosa yang mereka perbuat. Mereka menyesal, sungguh menyesal. Dan sejak saat itu mereka berjanji akan selalu didekatnya hingga hembuskan nafas terakhir. Karena dirimu adalah aku dan aku adalah dirimu

Dia sama seperti manusia lainnya. Tapi dia manusia spesial. Ada yang beda dari dirinya. Bukan pakaiannya, wajahnya, apalagi fisiknya. Yang membedakannya adalah hatinya. Hatinya yang bening bagaikan melati yang mekar sehabis hujan.

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel