Ini Masalah Hati


Jika ingin menyeberangi jalan, lihat kiri dan kanan dulu baru melangkah. Setidaknya itu bagian dari ikhtiar kita sebagai manusia kepada Yang Maha Esa. Kecuali engaku jauh-jauh hari sudah punya pilihan. Tanpa pikir panjang ketika sudah di tempatnya, dan langsung plek.

Tapi kalau belum juga punya pilihan? Pastinya terpikir dalam otak kita yang mana kontradiktif antara keduanya. Tidak sulit jika kita tahu bahwa kita manusia. Sulit jika kita men-'dewa'-kan diri. Mencoba melampaui kehendakNya.

Tapi yasudah lahh! Namanya juga manusia penuh nafsu dan kegilaan walaupun tidak meliputi seluruhnya. Khususnya ketika disituasi tertentu. Entah itu ketika jatuh tersandung batu, ketimpa ranting pohon, maupun acara-acara hegemoni lainnya. Tapi terkadang acara-acara hegemoni jika kita tidak bisa menuntun diri sendiri tentunya akan salah jalan. Juga halnya peringatan proklamasi 17 Agustus 1945. Entah apa sebutan lainnya yang pasti jika disebut hari kemerdekaan sepertinya tidak layak. Wong masih banyak pribumi-pribumi yang masih terjajah oleh saudara sendiri maupun asing. Tapi sebagai anak bangsa yang baik cobalah sedikit menghormati jasa-jasa para kakek kita mencoba membebaskan kita dari peluru-peluru tirani Belanda maupun Jepang.

Walaupun penyebutan 17 Agustus 1945 masih apalah namanya tapi, tidak mengurangi sedikitpun cintaku pada negeri ini juga sekalian umatnya. Negeri yang subur dengan berjuta hektar hutannya. Tuhan meanugrahkan kita sebuah nikmat yang disebut hutan tapi manusianya sendiri yang merusaknya. Ahhh sudahlah tidak akan habis-habisnya jika kita mbicarakan kesalahan dan kekhilafan manusia.

Sebenarnya Tuhan sayang pada negeri ini. Untuk itulah kita sebagai khalifah di muka bumi cobalah menjaga kesayangan Tuhan. Jangan jadi bangsa yang tidak tahu diri. Yang lupa akan perjuangan-perjuangan pendahulunya. Jangan jadi hanya penikmat segala macam titipan yang diberikannya. Cobalah terus mengolah nikmat tersebut.

Tumbuhkanlah rasa cintamu pada saudara-saudara negerimu sendiri. Hentakanlah kaki dengan tegap di tanah pertiwi. Bukalah matamu untu melihat di celah dedaunan. Lihatlah keadaan saudara-saudara negerimu. Lakukanlah yang smestinya dilakukan. Buanglah jauh-jauh segala macam caci maki dan buruk sangka. Lihatlah betapa sungai yang jernih mengalir dengan irama yang indah. Indah yang menyejukkan hati yang terasing.

Rasa nasionalisme tentu berbeda dengan fanatik. Nasionalisme tumbuh karena kesadaran jiwa manusia bukan nafsunya. Kita mungkin tidak tahu alasan mengapa Riyad Mahrez yang lebih memilih Aljazair ketimbang Prancis. Juga tidak tahu mengapa Pierre-Emerick Aubameyang yang memilih Gabon dibanding Prancis. Padahal jikalau mereka berdua lebih memilih Prancis, tentu kesempatan juara dunia lebih terbuka. Tapi entah kenapa mereka meletakkan kepada pilihan yang lain.

Tentu semuanya sudah punya pilihan. Ini bukan masalah pilihannya tapi ini masalah hati. Hati yang menimbulkan rasa cinta kasih yang indah. Bukan cinta alay-alayan yang diajarkan oleh sinetron-sinetron itu. Tapi yang pasti, cinta terhadap negeri. Cinta kepada bangsa. Cinta kepada umat. Cinta kepada Rasulullah SAW. Cinta kepada Allah SWT.

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel