Kisah Datu Abulung bertemu Nabi Khidir


Entah sudah berapa lama Datu Abulung berjalan, berapa kampung yang ia lewati dan berapa gunung yang ia daki, sampai akhirnya di ujung suatu kampung ia ada melihat sebuah gunung yang sangat tinggi, di kaki gunung tersebut dilihatnya ada sebuah gua, namun sebelum menaiki gunung itu ia akan berhenti dulu sebentar untuk shalat Ashar dan beristirahat sebentar di gua tersebut, karena saat itu hampir tiba, pikirnya.



Maka berjalanlah Syaikh Abdul Hamid menuju gua itu, setibanya di depan gua ia melihat seorang laki-laki tua berpakaian serba putih sedang bersujud dalam shalat, sejenak Syaikh Abdul Hamid berhenti di dekatnya sambil menunggu orang itu selesai shalat. Tidak berapa lama selesailah orang itu mengerjakan shalatnya, maka mendekatlah Syaikh Abdul Hamid Abulung kepadanya seraya memberi salam.

"Assalamu'alaikum wa rah matullahi wabarakatuh", ucap Syaikh Abdul Hamid Abulung.

"Wa'alaikum salam wa rahmatullahi wabarakatuh", jawab orang itu.

"Wahai tuan mengapa anda shalat di sini, apakah anda bukan penduduk kampung ini dan hanya menumpang shalat dan istirahat sebentar di tempat ini?", tanya Abdul Hamid Abulung.

"Benar, aku memang bukan penduduk kampung ini. Lalu saudara sendiri dari mana? Saya lihat saudara juga bukan penduduk kampung ini". Orang itu balik bertanya.

"Benar, saya bukan penduduk kampung ini, berasal dari Jawi, tepatnya di daerah Borneo,, Kerajaan Banjar, yang datang ke negeri ini untuk mencari suatu ilmu yang sebelumnya ilmu tersebut tidak saya temukan di negeriku, dan ilmu itu pun sampai sekarang walaupun sudah tidak terhitung lagi berapa kampung yang saya datangi dan sudah berapa tahun belum juga saya menemukan sepenuhnya." jawab Syaikh Abdul Hamid menerangkan asal-usulnya serta tujuannya datang ke negeri itu.

"Ilmu apakah gerangan yang engkau cari wahai saudara? Hingga sampai sejauh ini (ke negeri Makkah dan Madinah) dan selama beberapa tahun engkau mencarinya?", tanya orang tua itu lagi.

"Yang kucari adalah ilmu kesejatian, di mana ada 'Tuhan' di situ ada aku dan di mana ada aku di situ pula ada 'Tuhan', segala sifat 'Tuhan' akan ada bersamaku dan segala makhluk tidak akan memberi bekas kepaku", ucap Syaikh Abdul Hamid Abulung kepada orang tua di depannya.

"Memangnya sudah kemana saja dan kepada siapa saja engkau mencari ilmu tersebut?", tanya orang tua itu lagi.

"Aku mencarinya sudah berkeliling negeri ini dan sudah tidak terhitung lagi berapa banyak orang kutemui untuk menanyakan hal tersebut, namun sampai sekarang jawaban-jawaban yang kudapatkan belum sepenuhnya memuaskan hatiku", jawab Syaikh Abdul Hamid Abulung.

"Kalau begitu, maukah engkau kuberikan sesuatu yang mana nantinya engkau akan mendapatkan apa-apa yang engkau cari selama ini?", kata orang tua itu.

"Dengan senang hati dan terima kasih banyak atas pertolongan tuan", jawab Syaikh Abdul Hamid Abulung seraya memeluk orang itu, kemudian mencium kedua kakinya untuk mengangkatnya menjadi guru sekaligus orang tuanya.

"Sampian hamba angkat menjadi guru sekaligus orang tua hamba", ucap Syaikh Abdul Hamid Abulung.

"Aku terima dengan senang hati", jawab orang tua itu

"Namun sebelumnya engkau harus mena'ati perintahku", pinta orang tua itu.

"Baiklah. Apa-apa yang tuan perintahkan akan hamba turuti dengan senang hati", kata Syaikh Abdul Hamid Abulung.

"Mendekatlah kepadaku", ucap orang tua itu. Maka mendekatlah Syaikh Abdul Hamid Abulung kepada orang tua dihadapannya hingga badannya hampir bersentuhan.

"Pejamkan kedua matamu dan buka mulutmu serta janganlah engkau buka kedua matamu itu sampai kuperintahkan untuk membukanya". Pinta orang tua itu kepada Syaikh Abdul Hamid Abulung.

Maka Syaikh Abdul Hamid Abulung melakukan perintah orang tua yang ada dihadapannya dengan memejamkan kedua matanya dan membuka mulut. Kemudian orang tua itu membacakan sesuatu ke mulut Syaikh Abdul Hamid Abulung sambil kedua tangannya memegang kepalanya lalu orang tua itu meludahi mulut Syaikh Abdul Hamid Abulung sebanyak tiga kali berturut-turut.

"Telanlah ludahku itu dan tutup mulutmu", ucap orang tua itu.

Maka Syaikh Abdul Hamid Abulung mematuhi akan apa-apa yang diperintahkan orang tua itu. Tidak berapa lama setelah itu. "Bukalah kedua matamu dan tengadahlah ke langit", perintah orang tua itu lagi.

Maka Syaikh Abdul Hamid Abulung membuka matanya dan memandang langit. Ternyata langit yang ada di atas kepalanya itu terbuka lebar dan dan memancarkan cahaya yang sangat terang yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya yang mana cahaya itu memancar dari sebuah tempat yang sangat indah yang takkan dapat dilukiskan dengan kata-kata, maka terpanalah Syaikh Abdul Hamid Abulung demi melihat pemandangan yang ada di atas kepalanya itu serta tidak terasa terucap dari mulutnya kalimat "Subhanallah Jalia Jalaa-Luh". Tidak berapa lama cahaya itu hilang sedikit demi sedikit dari pandangannya dan langit langit yang terbuka di atasnya itu lambat laun mulai bergerak mendekat satu sama lainnya dan akhirnya kembali menyatu menjadi hamparan langit seperti sediakala.

Kemudian Syaikh Abdul Hamid Abulung menurunkan pandangannya ke depannya, ternyata orang tua yang ada di hadapannya tadi sudah tidak ditemukannya lagi, maka dipandanginya di sekelilingnya namun juga tidak ditemukannya, kemudian dipanggil-panggilnya juga tidak ada yang menjawab panggilannya itu. Ternyata orang tua itu sudah hilang entah kemana.

Kemudian Syaikh Abdul Hamid Abulung melihat-melihat keadaan di sekelilingnya, ternyata ia tidak lagi berada di tempatnya semula yang mana tempat yang dulu waktu bertemu dengan orang tua itu yang menyuruhnya untuk membuka mulut, memejamkan mata kemudian meludahinya serta yang menyuruhnya mengadah ke langit dan ia lihat pemandangan yang sangat menakjubkan itu, padahal waktu itu ia berada di kaki sebuah gunung yang sangat tinggi dan tepat berada di depan sebuah gua, sedangkan sekarang ia telah berada di pinggir sebuah hutan yang ditumbuhi pepohonan yang sangat lebat dan tidak jauh di depannya ternyata ada sebuah kampung yang banyak perumahannya sedangkan di depan rumah-rumah penduduk kampung itu ada sebuah sungai yang memanjang ke hilir kampung itu.

Sejenak Syaikh Abdul Hamid Abulung tertegun, kampung apakah ini gerangan, pikirnya. Kemudian ia berjalan menuju kampung di mana ia berada saat itu. Sesampai di kampung itu maka maka bertanyalah ia pada salah seorang penduduk yang sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Maka dijawablah oleh salah seorang penduduk itu bahwa kampung ini berada di wilayah Kerajaan Banjar.

Maka bertambah heranlah Syaikh Abdul Hamid Abulung mengenai keberadaannya saat itu, padahal sebelum bertemu dengan orang tua itu ia masih berada di Tanah Suci Makkah al-Mukkaramah, kemudian secepat ini ia sudah berada di tanah kelahirannya yaitu, Kerajaan Banjar.

Sungguh sesuatu yang sangat menakjubkan, pikirnya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah setelah Syaikh Abdul Hamid Abulung bertemu, disuruh memejamkan kedua belah mata, membuka mulut, diludahi mulutnya serta melihat terbukanya langit dan keluarnya cahaya dari atas langit tersebut dan tiba-tiba ia sudah berada di tanah kelahirannya sendiri, adalah sepertinya ia sudah mendapatkan ilmu yang selama ini sudah dicarinya ke mana-mana serta telah diidam-idamkannya, dan yang mana semua permasalahan yang sering merisaukan hatinya sekarang sudah dapat membuatnya tenang dan dapat menentramkan jiwanya dan ia sekarang sudah mendapatkan ilmu yang sudah lama ia cari.

Kemudian teringatlah Syaikh Abdul Hamid Abulung kepada orang tua yang membantunya untuk semua itu semua. Siapakah orang tua itu gerangan? Pikir Syaikh Abdul Hamid Abulung dalam hati. Ternyata itu adalah Nabi Khidir a.s , yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk memberikan petunjuk berupa ilmu kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Jadi menurut hikayat ini Syaikh Abdul Hamid Abulung kembali ke tanah air lebih dulu daripada Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Sumber: Sahabat, Tim. 2006. "Manakib Syekh Abdul Hamid Abulung". Kandangan. Toko Buku dan Penerbit Sahabat Kandangan Kalimantan Selatan.

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel