Pejuang Wanita dari Sulawesi Selatan, Opu Daeng
Mempunyai nama kecil Famajjah, Opu Daeng Risadju tokoh pejuang wanita dari Sulawesi Selatan yang juga diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Nama Opu Daeng sebenarnya merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan kepada Famajjah. Karena memang Famajjah merupakan berasal dari keluarga Kerajaan Luwu.
Opu Daeng lahir di Polopo tahun 1880 dari seorang ibu yang
bernama Opu Daeng Mawellu dan ayah bernama Muhammad Abdullah to Barengseng.
Pendidikan Opu Daeng berbeda dengan kebanyakan bangsawan lainnya. Ketika para
bangsawan rame-rame mengecap pendidikan barat Opu Daeng memilih jalan yang
lain. Pendidikannya dilalui dengan
banyak mempelajari hal yang menyangku nilai-nilai moral baik yang
berorientasi pada budaya dan agama.
Sebagaimana tradisi di keluarga bangsawan, Opu Daeng juga
mendapat pembelajaran tentang tata cara kehidupan para bangsawan baik di istana
maupun di lingkungan luar. Ia juga ditempa dengan pendidikan kepemimpinan,
bergaul, berbicara, dan memerintah rakyat.
Opu Daeng tidak hanya mendapat pembelajaran tentang adat
kebangsawanan. Lebih dari itu, ia juga mempelajari peribadatan dan akidah dalam
agama Islam. Di Luwu sendiri tidak ada masalah tentang agama dan budaya jika
menjadi satu kesatuan. Oleh sebab itu, Opu Daeng secara intensif ketika keil
membaca Al-Qur’an hingga tamat. Tidak ketinggalan ilmu-ilmu agama seperti
nahwu, syaraf, dan balaqah juga ia pelajari.
Buku karangan Khatib Sulaweman Datuk Patimang (merupakan
tokoh penyebar Islam di Sulawesi Selatan) yang membahas ilmu fiqih juga ia
pelajari. Opu Daeng dibimbing oleh seorang ulama dalam mempelajari segala ilmu
Islam.
Suami Opu Daeng, H. Muhammad Daud adalah seorang ulama yang
pernah bermukim di Makkah. Suaminya ini merupakan anak dari seorang rekan
dagang ayah Opu Daeng. Karena menikh dengan keluarga bangsawan, maka H.
Muhammad Daud diangkat menjadi imam Masjid Istana Kerajaan Luwu.
Opu Daeng merupakan seorang wanita yang aktif dalam dunia
perpolitikan. Ia menjadikan Partai Syarekat islam Indonesia menjadi pijakan
dalam berpolitik. Dan secara resmi, ia mndirikan cabang partai tersebut di
Polopo pada tahun 1930. Dalam rapat akbar yang dihadiri aparat pemerntah
Kerajaan Luwu dan berbagai pemuka masyarakat, Opu Daeng terpilih sebagai ketua
Partai Syarekat Islam Indonesia Palopo.
Karena dilarangnya kegiatan partai politik yang bergerak
pada kebangsaan pada masa pendudukan Jepang maka Opu Daeng tidak terlalu banyak
melaukan kegiatan di Partainya. Namun ia kembali muncul ke permukaan ketika
masa revolusi di Luwu. Kedatangan tentara NICA yang berkeinginan kembali
menjajah Indonesia mengawali revolusi ini.
NICA yang datang dengan sok gagah mulai memamburadulkan beberapa
wilayah. Rumah Opu Daeng digeledah secara paksa dengan alasan untuk mancari
senjata. Namun senjata yang dicari tidak didapatkan. Tentara NICA terus membuat
ulah. Kali ini Masjid yang menjadi sasarannya. NICA dengan semenang-menang
menginterogasi orang-orang yang berada di dalam masjid.
Tidak puas dengan hal tersebut. Tentara NICA memutuskan
mengobrak-abrikan Masjid dan bahkan menginjak-injak Al-Qur’an. Atas reaksi ini
para pemuda memberikan ultimatum kepada NICA agar kembali ke tangsinya dan
tidak berkeliaran di kota.
NICA tidak menggubris ultimatum tersebut dan mengakibatkan
konflik senjata. Para pemuda bertarung degan tentara NICA terhitung tanggal 23
Januari 1946.
Disinilah terlihat peran Opu Daeng memobilisi para pemuda
melawan tentara NICA. Dengan peran Opu Daeng yang begitu besar dalam membakar
semangat perjuangan para pemuda membuat tentara NICA kewalahan
mngantisipasinya. Tentara NICA kemudian melakukan berbagai cara untuk menangkap
Opu Daeng.
NICA membuat pernyataan resmi bahwa siapapun yang berhasil
menangkap Opu Daeng dalam keadaan mati maupun hidup akan mendapat imbalan. Tapi
dengan segala upaya tidak ada yang tertarik dengan tawaran dari NICA tersebut.
Walaupun akhirnya Opu Daeng tertangkap juga di wilayah
Lantoro. Ia dibawa menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sejauh 40 km.
Dalam masa tahanannya, Opu Daeng tercatat beberapa kali dipindahkan penjara.
Saat dipindahkan ke Bajo, Opu Daeng mendapatkan berupa siksaan untuk berdiri
menghadap matahari di tengah lapangan. Ketika itu ia ditembak dengan senapan
tepat dibahunya. Lalu ketika sudah tersungkur, Opu Daeng yang sudah berumur 67
tahun ditendangi dengan keras di tengah
lapangan tersebut. Seusai penyiksaan tersebut, Opu Daeng dimasukkan ke dalam
ruangan yang mirip penjara darurat bawah tanah.
Akibat penyiksaan yang dialaminya, Opu Daeng divonis tuli
untuk seumur hidup. Opu Daeng akhirnya dibebaskan setelah 11 bulan menjadi
tahanan. Ia pun kembali ke daerah Bua dan menetap di Belopa
Comments
Post a Comment