Perempuan Jadi Pemimpin
Masih terdapat silang pendapat di kalangan ahli hukum Islam tentang peran sosial politik kaum wanita. Bolehkah seorang wanita menjadi pemimpin? Sementara pro-kontra tetap ada, ternyata wanita-wanita yang menjadi pemimpin tetap eksis dan jalan terus. Sudah menjadi kenyataan sosial dibanyak negara, wanita sudah diterima menempati jabatan-jabatan publik. Mereka semua adalah wanita-wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin di lingkungan dan wilayah masing-masing. Belum lagi mereka yang menempati posisi pemimpin di dunia bisnis, LSM, organisasi kemasyarakatan, dunia pendidikan, dan seterusnya. Singkatnya, kepemimpinan wanita telah menjadi kenyataan sejarah yang tidak terbantahkan lagi. Menghadapi kenyataan ini, hukum Islam turut berbicara. Para fuqaha' dari berbagai mazhabnya mengemukakan pendapat secara tidak seragam, sehingga kepemimpinan wanita tetap menjadi polemik antara yang mendukung dan yang menolaknya. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan wanita?
Dalam sebuah hadisnya Nabi pernah bersabda,
"Diriwayatkan dari Abu Bakrah, (ia berkata): 'Sungguh, Allah telah memberi manfaat kepadaku lantaran kalimat yang aku dengar dari Rasulullah pada perang Jamal, ketika aku hampir terjebak ikut perang Jamal'. Selanjutnya ia berkata, 'Ketika berita bahwa Persia telah mengangkat Puteri Kisra sebagai ratu, hal itu sampai pada Rasul, kemudian beliau bersabda: "Tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada wanita"', (H. R. Bukhari)
Hampir seluruh fuqaha yang melarang keterlibatan perempuan menjadi pemimpin mengacu pada hadis ini sebagai dalil. Di belakang itu, mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Karenanya, ditutup peluang bagi wanita untuk menempati jabatan kepemimpinan pada segala bidang yang mengurusi orang banyak. Namun demikian, Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menjabat seorang hakim, itu pun dalam perkara hukum perdata, bukan pidana. Imam Jarir ath-Thabari lebih lunak lagi dengan memperbolehkan wanita menjadi pemimpin di segala bidang yang kemudian oleh al-Mawardi langsung dinilai sebagai pendapat yang syadz menentang ijmak (kesepakatan para ulama).
Dari aspek dalil, hadis ini sebenarnya kurang cukup syarat untuk dijadikan pelarangan keterlibatan wanita menjadi pemimpin. Sebab, menurut ushul fiqh sebuah nas baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika memuat setidaknya hal-hal berikut.
1. Secara redaksional, nas tersebut dengan tegas mengatakan haram
2. Nas tersebut dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi.
3. Nas tersebut diiringi oleh ancaman siksa (uqubah)
4. Menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukkan tuntunan yang harus dilaksanakan.
Sedangkan hadis di atas hanya menggunakan ungkapan 'tidak akan beruntung', yang tidak bisa diartikan sebagai pelarangan (haram). Dalam latar belakang sosialnya dapat dijelaskan bahwa hadis ini merupakan komentar nabi yang ditujukan kepada bangsa Persia yang mengangkat putri kaisar sebagai ratu. Jangkauan hadis ini tidak melebar terhadap persoalan yang lebih luas. Menurut Prof. Dr. M. Quraiah Shihab, hadis ini khusus berlaku pada masyarakat Persia ketika itu, bukan untuk semua masyarakat dan dalam semua urusan. Memang ada kaidah ushul fiqh yang melibatkan sebuah nas dari keumuman lafalnya, tidak melihat kekhususan sebab. Tetapi dalam kasus hadis di atas, kaidah ini tidak relevan untuk diterapkan karena tidak ditemukan indikasi yang menunjukkan bahwa hadis ini berlaku umum. Lafal qaum bukanlah lafal 'am. Justru yang lebih relevan diterapkan dalam kasus hadis tadi adalah kaidah yang menyatakan, yang dilihat adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal). Dengan cara ini, nas akan lebih sesuai dengan konteks asbab al-wurud serta cocok dengan kenyataan yang ada.
Dengan alur pemikiran seperti ini maka hadis tadi sesungguhnya tidak melarang secara tegas seorang perempuan menjabat sebagai pemimpin. Kalau yang dijadikan alasan adalah asumsi bahwa wanita memiliki kemampuan nalar di bawah di bawah laki-laki, sebagaimana argumen yang dikemukakan sebagian fuqaha maka alasan ini dapat dimengerti oleh sebab perempuan pada masa itu minim akses informasi. Akibatnya, wanita tidak dapat mengetahui masalah secara komperehensif. Wajar saja jika wanita di abad pertengahan terpinggirkan dalam peran sosial politik karena lingkungan ketika itu kurang memberikan peluang secara berimbang antara laki-laki dan perempuan. Padahal, pada masa Rasulullah masih hidup, Siti 'Aisyah mampu meriwayatkan 2210 hadis dan mengalahkan kalangan sahabt laki-laki. Kini, tatkala globalisasi informasi telah menjadi kenyataan dan sulit dielakkan, kondisi awal seperti tercermin pada masa Rasulullah masih hidup itu kembali menjadi kenyataan. Wanita pada masa kini memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk belajar aneka ragam ilmu pengetahuan. Karena itu, asumsi bahwa wanita mempunyai keterbatasan nalar dan daya kreativitas, dengan sendirinya, terbantahkan
Mengenai argumen kedua bahwa perempuan memiliki kemampuan fisik yang lemah memang demikian halnya. Namun, kelemahan ini tidak akan terlalu berpengaruh jika ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Fasilitas transportasi, komunikasi, dan manajemen yang canggih akan dapat menutupi kelemahan wanita di bidang ini. Ini juga sekaligus merupakan faktor yang menutupi kekhawatiran banyak orang tentang ketidakmampuan wanita dalam menata mental-spiritualnya.
Persoalan lain muncul ketika ada kesan bahwa perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah. Kesan ini sering dikaitkan dengan pelarangan wanita mengambil peran aktif dalam dunia sosial dan politik. Biasanya pelarangan ini didasarkan pada firman Allah.
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu... " (Q. S. Al-Ahzab: 33)
Apa yang perlu dielaborasi adalah bahwa pelarangan keluar rumah pada ayat ini lebih ditujukan pada mereka yang keluar rumah dengan mengumbar aurat. Karena itu, fikih sebenarnya membolehkan wanita keluar rumah untuk bermuamalah dengan ketentuan menutup auratnya. Bahkan, wanita yang sedang menjalani masa idah sekalipun masih ditoleransi oleh fikih untuk keluar rumah dengan alasan hajat. Kalau untuk urusan muamalah yang dimensinya personal saja fikih membolehkan wanita keluar rumah, apakah dengan alasan yang sama (karena kebutuhan) wanita lalu dilarang ikut berperan aktif mengurusi umat manusia yang dimensinya sosial dan langsung bersentuhan dengan hajat orang banyak.
Sumber: Yasid, Abu. 2007. "Fikih Politik". Situbondo. Penerbit Erlangga.
Comments
Post a Comment