Perjuangan Pangeran Dponegoro Hingga Tertangkap
Pada tanggal 28 Maret 1839 lalu, Pangeran Diponegoro menemui
Jenderal de Kock di Magelang selaku panglima tertinggi Kerajaan Belanda di
Indonesia. Karena perang yang sudah sangat berlarut-larut, De Kock berusaha
berunding dengan Diponegoro. Perundingan tersebut dijaga ketat oleh pasukan
Belanda. De Kock meminta kepada Pangeran Diponegoro untuk menghentikan perang.
Namun dengan tegas Diponegoro menolak tawaran tersebut. Mendapat jawaban
seperti itu, Belanda dengan sigap merencanakan penyergapan terhadap Diponegoro.
Akhirnya, pada hari itu juga, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke
Ungaran, lalu dibawa ke gedung Keresidenan Semarang, dan menuju ke Batavia pada
5 April.
Kegigihan semangat Pangeran Diponegoro dalam mengusir
penjajah membuat Belanda geram. Namun, Belanda akhirnya dapat menangkap
Pangeran Diponegoro dengan cara licik. Tertangkapnya Pangeran Diponegoro
membuat perlawanan rakyat Jawa terhenti karena hilangnya sosok pemimpin yang
mengkomandoi mereka. Ini ditambah dengan keberpihakan keraton-keraton di Jawa
terhadap Belanda.
Pangeran Diponegoro merupakan seorang putra sulung dari Raja
Mataram, yaitu Hamnegkubuwono III. Lahir di Yogyakarta tanggal 11 November
tahun 1785, Diponegoro memiliki nama lahir Mustahar. Ibu Diponegoro, yaitu RA
Mangkarawati merupakan seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang
berasal dari Pacitan. Raden Mas Ontowiryo merupakan nama kecil yang diberikan
kepada Diponegoro.
Dengan kerendahan hatinya, Pangeran Diponegoro menolak
tawaran ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III untuk menjadikannya seorang raja. Ini
dikarenakan Diponegoro sadar kedudukannya sebagai seorang putra selir. Kehidupan
keagamaan dan merakyat menjadi daya tarik tersendiri oleh Diponegoro. Hal
inilah yang membuat Diponegoro lebih memilih tinggal di Tegalrejo.
Pada masa kepemimpinan Hamengkubuwana V, Pangeran Diponegoro
mulai memberontak terhadap keraton. Ini dikarenakan yang pada saat itu
Habengkubuwana V masih berusia tiga tahun, sehingga pemerintahan sehari-hari
dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Hal ini tidak disetujui
oleh Diponegoro.
Perang Diponegoro yang berkobar berawal ketika Belanda
memasang patok di tanah milik Diponegoro. Belanda yang tidak menghargai adat
istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat membuat Pangeran Diponegoro
geram. Diponegoro yang menyatakan perlawanan terhadap Belanda secara terbuka
mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.
Pangeran Mangkubumi yang merupakan pamannya menyarankan agar
Pangeran Diponegoro untuk menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di
sebuah goa. Pangeran Diponegoro mengobarkan “Perang Sabil” yang merupakan
perlawanan terhadap kaum kafir. Pengaruh perang ini meluas hingga ke wilayah
Pacitan dan Kedu. Di Surakarta, ada seorang tokoh agama yang bernama Kyai Maja
yang ikut bergabung. S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung
Prawirodigdaya juga ikut dalam perjuangan yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Dalam jalannya perang, Belanda merugi dengan kehilangan
15.000 tentara dan 20 juta gulden. Untuk itu, Belanda melakukan segala upaya
untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Hadiah sebesar 50.000 gulden diberikan
kepada siapa saja yang berhasil menangkap Pangeran Diponegoro. Hingga akhirnya
perjuangan Pangeran Diponegoro terhenti setelah tertangkap.
Sumber: Republika
Comments
Post a Comment