Andil Soekarno pada Piagam Jakarta
Jangan terlalu berpandangan negatif tentang rancangan UUD
1945 yang juga sering disebut sebagai Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Sampai-sampai memberi stigma bahwa Piagam Jakarta sebagai langkah menuju
Republik Islam Indonesia.
Rancangan hasil Panitia Sembilan sebenarnya disahkan dalam
Bapat Besar BPUPKI dengan keputusan “suara bulat”. Ketika itu yang menjadi
ketua Panitia Sembilan ialah Sang Proklamator, Ir. Soekarno. Menurut RM. A. B.
Kusuma, dalam catatannya, Panitia Sembilan dibentuk sepenuhnya atas prakarsa
Bung Karno di luar prosedur BPUPKI.
Piagam Jakarta tidak sepenuhnya diterima oleh anggota
BPUPKI. Disaat itulah, Bung Karno mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta.
Seperti yang terlontar dalam ucapan Bung Karno sebagai berikut, "Saya minta dengan rasa
menangis, dengan rasa menangis, terimalah rumusan ini". Bung Karno
juga menegaskan bahwa Piagam Jakarta merupakan kompromi terbaik antara kalangan
kebangsaan dengan kalangan Islam.
Dalam keadaan sangat mendesak, Gentleman's Agreement tersebut dimentahkan oleh PPKI pada 18
Agustus 1945. Dan Ki Bagus Hadikusumo menyetujui perubahan sila "Ketuhanan
dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Ki Bagus Hadikusumo meyakini bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan
tauhid, yang juga sepaham dengan K. H. Wahid Hasyim dan Haji Agus Salim.
Kesaksian Mr. Kasman Singodimedjo mengatakan bahwa pada lobby tanggal 18
Agustus 1945 tersebut, Bung Karno tidak ikut melibatkan diri. Ini sangat
dimengerti karena melihat peran Bung Karno pada sebelumnya.
Saat UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, dengan secara gamblang dalam konsiderans Dekrit itu dinyatakan "bahwa
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD dan merupakan satu kesatuan dengan
konstitusi”. Perdana Menteri Djuanda ketika itu menegaskan bahwa sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” bisa diartikan sebagai” Ketuhanan dengan kewajiban
melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Djuanda juga menambahkan
bahwa tidak ada boleh ada satu pun peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Penjelasan terang-terang oleh Djuanda tersebut membuahkan
hasil pada tanggal 22 Juli 1959, DPR hasil Pemilu 1955 secara aklamasi menerima
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada pendapat akhir, Ketua Fraksi Mohammad Sardjan
dari Masyumi mengatakan bahwa pendiriannya tunduk kepada UUD 1945 dan juga
mengajak seluruh pihak, termasuk presiden, untuk mematuhi UUD 1945. Dekrit
Presiden ini kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang
membahas Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia. Hal ini dinilai sebagai
langkah yang tepat untuk menemukan jati diri bangsa Indonesia yang religius.
Dalam usaha memisahkan Piagam Jakarta dari UUD 1945
merupakan pekerjaan sia-sia. Sama halnya memisahkan rasa manis dari gula atau
garam dari asinnya. Wallahu 'alam
bishshawab.
Sumber: Republika
Comments
Post a Comment