Cak Nun: Pencuri Sepatu Itu, Ya Allah!
Pencuri Sepatu itu, ya Allah, kenapa begitu penuh derita.
Pencuri itu sendiri adalah kesengsaraan bagi jiwanya. Dan
kalaupun kemudian ia sempat menikmati hasilnya, jiwanya akan semakin menangis.
Jiwa murni di dalam jiwa tak bisa takluk oleh segala macam kejahatan maupun
kenyamanan yang dibuahkannya.
Apalagi kalau sang pencuri itu bertindak mencuri karena
terpaksa, karena keterpepetan, karena buntu, karena hati sempit dan lingkungan
perolehan ekonomi yang sama sempitnya. Apa lagi si pencuri sepatu itu, ya
Allah... di Senin yang lalu, Senin yang pilu...
Di mushalla sebuah universitas kota Yogya, ia mencoba
‘membeli’ sepatu dengan nasib seluruh hidupnya. Ketika ia menjinjing dua pasang
sepatu pergi dari mushalla, orang-orang menangkapnya. Dan ia melawan –ya Allah,
malangnya!
Bagai tumpah lahar. Berpuluh tangan memukulinya, berpuluh
kaki menerjangnya, bahkan beberapa batu besar membentur kepalanya, beberapa
tulangnya jangan-jangan telah patah, dan pasti bekas luka-lukanya nanti akan
mengikutinya sepanjang usia, ya Allah!
Ia seorang mahasiswa di perguruan tinggi lain. Kenapa ia
sampai mencuri, ya Allah! Apakah orangtuanya amat miskin dan ia sendiri amat
susah memperoleh kerja? Apakah sepatu curian itu akan dijualnya untuk membayar
uang kuliah? Atau untuk makan? Atau apa, ya Allah? Apakah tak ada manusia
baik-baik di negeri gemah ripah ini yang bisa menolongnya, ya Allah? Apakah tak
ada tetangganya? Teman-temannya? Atau siapa pun saja yang tinggal di
rumah-rumah bagus dan mewah di seantero kota? Apakah di daerah ini tak ada umat
beragama sehingga ada seorang hamba Allah yang terperosok ke dalam nasib buruk
semacam itu, ya Allah?
Lihatlah kini wajahnya. Tubuhnya. Nasibnya. Hidupnya. Harga
dirinya. Ya Allah, bagaimana nanti perasaan orangtuanya? Keluarganya? Kenalan-kenalannya?
Bagaimana jiwa dan hari depannya?
Allah ya Allah, ampunilah kami yang berkubang dosa...
Sumber: Emha Ainun
Nadjib. 1993. “Secangkir Kopi Jon Pakir”. Bandung. Penerbit Mizan.
Comments
Post a Comment