Potret Kekejaman Jepang kepada Rakyat Indonesia
Pada sela-sela KTT ASEAN tahun 2005 di Jakarta, PM Jepang
memberikan pernyataan maaf atas kekejaman Jepang pada Perang Dunia II yang
berakibat penderitaan rakyat di kawasan Asia. Permintaan maaf tersebut
ditujukan kepada negara-negara Asia termasuk Indonesia. Jepang pernah menjajah
Indonesia selama tiga setengah tahun yang membuat rakyat mengalami penderitaan
luar biasa.
Jepang pernah tidak jujur pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah
dengan tidak mengakui kekejaman tentara militer Jepang. Alhasil, Korea Selatan
dan Cina geram atas tindakan Jepang ini. Demo-demo anti-Jepang ketika itu marak
di kedua negara tersebut.
Ketika Perang Dunia berlangsung, tentara Belanda dan sekutu tidak mampu membendung serangan kilat (Blitzkrieg) tentara Jepang yang disokong semangat yang tinggi. Dalam kurun waktu tiga bulan Jepang berhasil merebut Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Indonesia dari tangan sekutu.
Jepang yang berhasil membebaskan
Indonesia dari Belanda mendapat sambutan baik dari rakyat Indonesia karena
berjanji akan membebaskan dan memberi kemerdekaan bagi Indonesia. DI Indonesia,
Jepang menyebut dirinya sebagai “saudara tua” bagi Indonesia. Perkenalan manis
Jepang di awal berubah seiring berjalannya waktu. Jepang mulai melancarkan
aksinya dengan memonopoli segala kebutuhan mulai dari pakaian, makanan,
obatan-obatan yang ada di pasar. Bahkan karena kesulitan mendapatkan pakaian,
rakyat terpaksa memakai karung goni sebagai celana mereka.
Obat-obatan pun sulit mereka
dapatkan bahkan di rumah sakit sekalipun. Banyak dari rakyat yang menderita
koreng dan jumlahnya banyak sekali namun sulit mendapatkan salep. Sebagai
pengganti perban, terpaksa uang gobengan di gecek
dan ditemplak ke tempat yang sakit.
Sepeda sebagai alat transportasi paling sederhana ketika itu memiliki ban dari
karet atau ‘ban mati’. Buku tulis di sekolah-sekolah terbuat dari kertas
merang. Zaman itu, banyak orang yang merebut makanan sisa yang terdapat di bak
sampah untuk mengganjal perut. Bila mayat-mayat bertebaran di jalan bukanlah
hal yang asing bagi mereka.
Sebagai alternatif, Jepang
mengajarkan rakyat makan bekicot. Radio-radio pun ketika itu disegel dan hanya
dimiliki segelintir orang. Kala itu, radio juga dijadikan alat oleh Jepang dan
dilarang menyetel siaran luar negeri. Jika ketahuan akan mendapat hukuman berat
dari Jepang.
Ketika malam tiba, sering
terdengar sirine kuso keho sebagai
tanda bahwa ada serangan udara dari tentara sekutu. Rakyat pun dengan cekatan berlindung
diri dengan memadamkan lampu dan cepat-cepat ke tempat perlindungan. Pada
halaman rumah digali lubang untuk empat atau lima orang sebagai tempat
berlindung.
Jepang juga mengerahkan tenaga
rakyat untuk dieksploitasi dalam kerja paksa atau romusha. Para penduduk Jawa dikirm ke luar pulau bahkan negeri
untuk menjadi tenaga kerja. Siapapun yang menolak akan diperlakukan secara
tidak manusiawi oleh Jepang. Ribuan romusha
juga digunakan ke medan perang,
Jepang mengirim mereka ke Irian, Maluku, Sulawesi, Malaysia, Thailand, dan
Burma. Mereka yang tidak menguasai medan peperangan hidup dalam serba
kekurangan di tengah ancaman bayonet.
Kekejaman tentara Jepang pernah
difilmkan pada masa Orde Baru. Film produksi tahun 1972 telah lolos sensor
namun dilarang peredarannya oleh pemerintah karena menganggu hubungan
Indonesia-Jepang. Berbeda dengan film “Budak Nafsu” yang mengangkat cerita
budak seks dari wanita Indonesia untuk tentara Jepang yang diperbolehkan
peredarannya.
Sumber: Republika
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete