Amir Hamzah di Tanah Rantau





Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera lahir di Langkat, Sumatera Utara pada 28 Februari 1911. Ia dikenal sebagai sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe sekaligus Pahlawan Nasional Indonesia.

Sebagai sastrawan, Amir Hamzah sangat kental dengan puisi-puisinya yang sarat akan cinta dan agama. Selain itu, puisinya juga mencerminkan konflik batin yang sangat mendalam. Dalam karya awalnya dipenuhi dengan rasa rindu dan cinta, baik ideal dan erotis, sedangkan karya-karyanya selanjutnya dipenuhi dengan makna yang lebih religius. Keahliannya meramu puisi sehingga mendapat julukan "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe". Selain itu Amir Hamzah juga satu-satunya penyair Indonesia yang berkelas internasional dari era pra-Revoluni Nasional Indonesia.

Seusai menghabiskan masa kecilnya di kampungnya, Amir Hamzah memutuskan untuk pergi ke Pulau Jawa untuk meneruskan studinya. Amir memutuskan untuk pergi ke Jawa sendirian dengan menggunakan kapal Plancus. Ia mengarungi perjalanan di laut selama tiga hari.

Ketika sampai, Amir berlabuh di Batavia. Lalu ia memutuskan untuk masuk di sekolah Christelijk MULO Menjangan. Di sekolah ini Amir mendapatkan pengetahuan tentang konsep dan nilai-nilai Kekristenan. Di Batavia, Amir tergabung dengan organisasi sosial Jong Sumatera. Disaat periode inilah Amir muda menulis puisi pertamanya.

Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Amir melanjutkan studinya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas). Sekolah ini dioperasikan oleh organisasi Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah. Di sini, Amir mulai mempelajari ilmu-ilmu tentang sastra termasuk bahasa mulai dari bahasa Jawa, Sansekerta, dan Arab. Amir lebih memilih untuk menyewa kamar yang jauh dari hiruk-piruk asrama dan bertempat tinggal di rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta. Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kedepannya juga menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja. Mereka punya catatan bahwa Amir merupakan anak yang ramah, rajin, serta orang yang kamar tidurnya bersih. Bahkan Mihardja menceritakan "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja (selimut)”, ia juga seorang yang romantis dan cenderung berpikir sedih di bawah lampu yang mengisolasi diri dari teman-temannya.

Petualangan Amir di Surakarta berlanjut ketika ia bergabung dengan gerakan nasionalis. Di sana ia akan bertemu dengan perantau sesama Sumatera dan membicarakan masalah sosial masyarakat Melayu di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Saat itu para pemuda berpendidikan memilih memakai bahasa Belanda, namun Amir bersikeras mempertahankan bahasa Melayu ketika bercakap-cakap.

Amir terpilih sebagai kepala cabang Indonesia Moeda di Surakarta pada 1930. Amir jatuh cinta dengan seorang gadis Jawa yang bernama Ilik Soendari. Mereka berdua sering berbicara berbagai topik, Amir mengajarkan bahasa Arab kepada Soendari, sementara Soendari mengajarinya bahasa Jawa.

Puisi Amir yang berjudul "Soenji" dan “Maboek” diterbitkan oleh majalah Timboel pada edisi Maret. Delapan karyanya juga diterbitkan termasuk syair yang berdasarkan Hikayat Hang Tuah.

Pada sekitaran September 1932, Armijn Pane atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana mengundang Amir untuk berpartisipasi dalam pembuatan majalah sastra independen. Amir menerima tawaran tersebut dan mendapat tugas untuk mengirimkan surat kepada penulis-penulis yang ia kenal. Beberapa bulan memakan waktu persiapan, akhirnya edisi awal diterbitkan pada Juli 1933 dengan judul Poedjangga Baroe.

Sumber: Wikipedia

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel