Pranata Mangsa, Kalender Jawa Berusia Ribuan Tahun




Terdapat beberapa daerah di Nusantara yang memakai sistem penanggalan lokal. Salah satunya sistem penanggalan Pranata Mangsa yang digunakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Kalender ini konon katanya sudah digunakan sejak zaman Raja Aji Saka yang berkuasa di Medang Kamulan. Berdasarkan catatan ini berarti usia kalender Pranata Mangsa sudah mencapai ribuan tahun. Meskipun sudah sudah ada sejak zaman dahulu kalender ini masih bersifat lengkap dan komprehensif.

Jika masyarakat Jawa mengenal Pranata Mangsa, Suku Batak memakai sitem penaggalan yang bernama Parhalaan. Sementara Suku Dayak di Kalimantan Barat mengenal sistem kalender Papan Katika. Seperti halnya Pranata Mangsa, kalender-kalender tradisional masyarakat digunakan sebagai pedoman untuk kegiatan keseharian.

Pranata Mangsa berasal dari kata pranata dan mangsa. Pranata yang berarti aturan dan mangsa mempunyai arti musim. Jadi, Pranata Mangsa berfungsi sebagai pemberi informasi tentang perubahan musim yang terjadi pada setiap tahunnya. Ini sangat berguna bagi para petani dan pelaut dalam membantu pekerjaan mereka.

Kalender Pranata Mangsa menjadi bukti kedekatan masyarakat Nusantara terhadap alam. Kearifan masyarakat tradisional terhadap alam merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan. Alam merupakan ‘kekasih’ yang menjadi kewajiban kita untuk merawat dan menjaganya, karena alam bukanlah lawan apalagi musuh. Kedekatan dengan alam inilah yang membuat masyarakat Nusantara dapat mengerti perumusan penanggalan setiap musimnya.

Jika demikian maka Pranata Mangsa mempunyai akar latar belakang kosmografi dan bioklimatologi. Kalender ini disusun berdasarkan proses pengamatan terhadap alam, mulai dari perubahan iklim sampai pergerakan benda-benda angkasa. Memang sejak zaman dahulu bangsa Indonesia sudah akrab dengan pola pergerakan bintang yang mendasari pergantian musim dari tahun ke tahun berikutnya.

Kalender ini sudah berusia ribuan tahun bahkan sebelum kedatangan agama Hindu. Bangsa Nusantara sudah kenal lebih dahulu dengan pergerakan benda-benda yang ada di angkasa. Kalender yang dijaga turun-temurun ini kemudian dimodifikasi oleh Sultan Agung. Sejak saat itulah kalender ini dijadikan sebagai pedoman dalam bertani. Oleh Sri Susuhunan Pakubuwana VII di Surakarta kalender ini dibakukan untuk lebih memperkuat sistem penanggalan yang dijadikan pedoman bagi para petani.

Kalender ini dibagi ke dalam 4 mangsa utama yang dibagi lagi menjadi 12 bagian mangsa. Jumlah hari pada kalender ini sama dengan tahun masehi namun ada perbedaan pada variasinya. Jumlah hari dalam satu mangsa bervariasi, dari 24 sampai 43 hari. Jumlah hari dalam kedua belas mangsa bukan hanya hasil pembagian sederhana, tapi menyesuaikan dengan terjadinya pergantian musim. Setiap mangsa menggambarkan pola alam pada mangsa yang berkaitan.

Pengamatan kalender Pranata Mangsa hanya dilakukan di Jawa dan Bali sehingga tidak dapat dijadikan patokan bagi petani di luar daerah tersebut. Sebab itulah kalender ini bersifat lokal. Kelemahan lainnya dari kalender Pranata Mangsa ialah tidak dapat memprediksi gejala-gejala alam tertentu


Sumber: 1001indonesia.net

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel