Bersatunya Rakyat di Lapangan Ikada
Belum sebulan Indonesia merdeka tepatnya pada 8 September
1945, tujuh tentara sekutu mendarat di lapangan Kemayoran dengan menggunakan
parasut. Mereka diperintah langsung oleh pimpinan tertinggi sekutu di Asia
Tenggara yaitu, Lord Luis Mountbatten. Selama di Indonesia mereka mengamati
keadaan yang terjadi di Indonesia setelah baru memerdekakan diri dari
penjarahan asing. Seminggu berselang, kapal perang sekutu yang didalamnya juga
turut ikut bekas gubernur kolonial Jawa Timur mendarat di Tanjung Priok. Hal
ini membuat kekhawatiran bagi sebagian kalangan.
Atas dasar inilah para pemuda revolusioner Menteng 31
menggelar pertemuan melihat kondisi yang ada. Lalu, mereka sepakat akan
mengadakan rapat umum yang diselenggarakan di Lapangan Ikada. Rapat ini bertujuan
memantapkan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.
Hingga terbentuklah beberapa organisasi yang dimotori oleh
pemuda Menteng 31 pada awal September. Organisasi tersebut ialah Angkatan
Pemuda Indonesia (API) yang diketuai oleh Wikana dan dibantu pengurus lainnya
seperti, DN Aidit, Darwis, AM Hanafis, Chalid Rasjidi, Djohar Nur, dan Kusnanadar.
Selain API ada juga Barisan Buruh Indonesia, Barisan Rakyat, dan Seniman
Indonesia Muda. Organisasi-organisasi ini mempelopori terjadi pergerakan rakyat
untuk pengambil alihan Djawatan Kereta Api dan beberapa perusahaan penting dari
tangan Jepang.
Gerak-gerik pemuda Menteng 31 ini dicium oleh Jepang.
Tanggal 18 September 1945, Jepang melalui pemimpin militernya mengeluarkan
maklumat yang berisi larangan untuk penggelaran rapat ini. Namun, tindakan
Jepang ini tidak membuat para pemuda gentar. Mereka tetap melakukan sosialisasi
dan membagikan famplet-flampet untuk tetap terselenggaranya rapat ini.
Sejak pagi tanggal 19 September 1945, rakyat dari berbagai
tempat di Jakarta maupun luar sudah berdatangan. “Sejak 19 September itu berpuluh-puluh gerbong kereta api datang dari
jurusan Cikampek, Bogor, Tangerang, dan lain-lain membawa massa rakyat ke
lapangan Ikada. Malahan ada yang datang dari Cirebon, Tegal, Banten, Bandung,
dan beberapa malam sebelumnya menginap di markas Menteng 31.” Ujar Sidik
Kertapati.
Hari semakin siang, lautan massa rakyat Indonesia dari
berbagai penjuru datang ke Lapangan Ikada demi satu tujuan, yaitu Indonesia. Bendera-bendera dan
spanduk menjulang memenuhi langit Ikada
pada hari itu.
Massa yang begitu banyak membuat tentara Jepang mulai
berjaga-jaga. Mereka menempatkan tentara dan tank di sekitaran Lapangan Ikada
untuk mengantisipasi massa yang diperkirakan mencapai 200 ribu orang. Panas
terik pada hari itu tidak membuat rakyat yang berkumpul menjadi lelah karena
panasnya matahari. Mereka dengan setia menunggu pimpinan tertinggi Indonesia
saat itu, Presiden Soekarno.
Untuk tetap menjaga semangat rakyat yang sudah berkumpul
itu, DN Aidit dan Sidik Kertapati naik ke panggung dan mengambil mikrofon dari
pegawai Kotapraja. Aidit mengajak rakyat untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya
secara bersama-sama. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu Darah Ra’jat yang
sebelumnya sudah dibagikan teks lagunya dalam bentuk famplet.
Soekarno yang ditunggu-tunggu oleh ratusan ribu rakyat
akhirnya datang juga. Dengan menggunakan mobil, Soekarno dikawal oleh para
pemuda. Mereka membuat pagar dari barisan manusia ketika Sang Presiden RI
berjalan menuju mimbar seakan mereka siap menjadi pelindung nyawa Soekarno.
Ketika di mimbar, Bung Karno tidak banyak berbicara. Ia
hanya berpidato kurang dari lima menit. Inti dari pidato tersebut adalah supaya
rakyat tetap tenang dan percaya kepada pemerintah Republik yang baru saja
merdeka.
Jepang yang sadar akan besarnya rapat umum di Lapangan Ikada
ini mulai melakukan reaksi agar tidak kehilangan muka di hadapan sekutu. Lalu,
Jepang melakukan penculikan kepada para pemuda di asrama Menteng 31.
Sumber: berdikarionline
Comments
Post a Comment