Saksi Sejarah Masjid Baangkat Kandangan
Masjid Baangkat atau lebih lengkapnya Masjid Sua'da Baangkat merupakan salah satu masjid tertua di kota Kandangan, Kalimantan Selatan. Masjid ini terletak di Jalan Simpur, Desa Wasah Hilir, Kecamatan Simpur. Masjid ini dibangun pada tahun 1908 dengan bahan kayu ulin seluruhnya dan belum pernah di renovasi. Jadi, masjid ini masih asli sama sekali dengan pertama kali dibangun pada tahun 1908.
Mimbar masjid ini juga masih asli dengan dipenuhi ukiran yang indah. Masjid ini dinamakan Masjid Baangkat (diangkat) karena bentuk fisiknya menyerupai rumah panggung dengan lantai dasar diangkat dan tidak menyentuh tanah. Ini menyebabkan masjid ini mempunyai kolong di bawahnya sebagai antisipasi banjir dan serangan binatang buas.
Yang unik dari masjid ini ialah kayu-kayunya tidak dipaku melainkan menggunakan teknik berasuk atau menggunakan pasak. Walaupun berusia lebih dari 100 tahun pasak-pasak ini masih kokoh. Hal ini disebabkan karena pengerjaan teknik berasuk cocok digunakan pada kayu ulin sehingga semakin tua kayu tersebut semakin kuat dan kokoh. Teknik ini sudah dikenal dan sering digunakan pada bangunan-bangunan di Kalimantan Selatan.
Dalam sejarahnya masjid ini menjadi saksi perjuangan rakyat Kandangan dalam mengusir Belanda. Seperti yang diutarakan H. Husni, pengurus masjid ini.
H. Husni menceritakan bahwa dahulu Belanda sempat tertipu dengan bunyi bedug yang ada di masjid ini. Ketika itu saat bedug dibunyikan suaranya yang keras membuat takut tentara Belanda. Tentara Belanda mengira bahwa suara bedug tersebut merupakan suara senjata-senjata dari rakyat Kandangan.
Belanda yang merasa tertipu akan hal ini memerintahkan agar warga memotong tiang bedug tersebut. Sampai saat ini, bedug ini masih ada di Masjid Baangkat dan digantung dengan rantai.
Masjid Baangakat juga menyimpan sebuah prasasti yang menerangkan kunjungan dua tokoh kenamaan pada zaman Presiden Soekarno. Mereka adalah Perdana Menteri Mohammad Natsir dan wakilnya Mohammad Roem. Dua tokoh ini mengunjungi Desa Wasah Hilir dalam rangka bertemu dan berdiskusi dengan tokoh masyarakat Kandangan untuk mempertahankan kemerdekaan. “Mereka rapatnya di Gedung Musyawarah dekat masjid ini. Peristiwa itu diabadikan di prasasti di halaman masjid ini," papar H. Husni
Prasasti tersebut juga berfungsi sebagai penunjuk waktu solat. Jam matahari ini oleh warga sekitar disebut jidar. Pada puncak prasasti tersebut terdapat besi yang menjadi tolak ukur untuk melihat bayangan matahari. "Orang zaman dulu kan nggak ada jam seperti sekarang ini. Jadi, untuk mengetahui waktu salat hanya mengandalkan pergerakan matahari dan posisi bayangan benda," katanya.
Jam matahari ini juga dapat digunakan untuk menentukan musim. "Misalnya, kalau bayangan besinya ke arah selatan berarti sedang musim hujan," kata H. Husni. "Dulu, masjid ini merupakan wadah para ulama belajar agama Islam," terang H. Husni.
Masjid ini didirikan oleh ulama terkenal yang masih keturunan Datu Kelampaian atau Syekh Muhammad Aryad Al-Banjari.
Berdasarkan keputusan Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 1 September 1978 nomor 47/Z.3/DSP/78 mensahkan Masjid Baangkat sebagai peninggalan nasional yang perlu dipelihara.
Sumber: BANJARMASINPOST.CO.ID
Comments
Post a Comment