Sikap K.H. Hasyim Asy'ari dalam Memandang Perbedaan Pendapat
K.H. Hasyim Asyari merupakan ulama pendiri ormas Islam
terbesar di Indonesia yaitu, Nahdlatul Ulama (NU). Kyai Hasyim dikenal sebagai
sosok ulama yang toleran terhadap perbedaan pendapat dan berusaha terus-menerus
menjaga persatuan umat Islam dalam berbagai perbedaan.
Walau Nahdlatul Ulama banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i
(Mazhab Syafi’i), Kyai Hasyim menegaskan bahwa kefanatikan mazhab jangan sampai
menyebabkan perpecahan. Beliau menyeru agar menjauhi sikap fanatik buta
terhadap satu mazhab. Hal ini juga dituliskan Kyai Hasyim, “Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap
suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’ (cabang
agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap
mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu
akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah
fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme).”
Sikap ini beliau contohkan langsung pada murid-muridnya. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh K.H. Shalahuddin Wahid ketika Kyai Hasyim
kedatangan tamu dari Pondok Pesantren Muhammadiyah, Paciran Lamongan. Tamu
tersebut ialah K.H. Abdurrahman Syamsuri.
Saat itu Kyai Hasyim mengetahui bahwa menurut K.H.
Abdurrahman memukul kentongan sebelum azan tidak diperbolehkan. Mengetahui hal
ini, Kyai Hasyim (yang membolehkan pemukulan kentongan sebelum azan)
memerintahkan agar masjid-masjid Nahdliyin yang akan dilalui K.H. Abdurrahman
untuk menyimpannya dan tidak membunyikan kentongan tersebut. Hal ini dilakukan
untuk menghormati tokoh Muhammadiyah ini.
Sebaliknya, Ketika Kyai Hasyim mengunjungi pesantren K.H.
Abdurrahman, diperintahkan agar seluruh masjid Muahmmadiyah yang akan dilalui
Kyai Hasyim untuk memasang kentongan. Ini dilakukan sebagai penghormatan kepada
Kyai Hasyim.
Ada pula ketika seorang santri datang menemui Kyai Hasyim
untuk melaporkan adanya aliran sesat di Yogyakarta. Kyai Hasyim lalu
mendengarkan penjelasan murid tersebut yang mengatakan bahwa aliran tersebut
juga memiliki kesamaan dalam rukun Islam dan rukun iman, namun ketika mereka
solat subuh tidak berqunut. Santri itu juga memberitahukan bahwa pimpinan
aliran tersebut bernama H. Muhammad Darwis.
Mendengar penuturan santri tersebut, Kyai Hasyim tersenyum
dan mengatakan bahwa H. Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal K.H. Ahmad
Dahlan merupakan temannya ketika belajar bersama-sama di Mekkah. Kyai Hasyim
juga mengatakan bahwa aliran sesat tersebut yang sebenarnya merupakan Muhammadiyah
tidak sesat.
Sikap teladan ini memang menjadi panutan bagi kita semua
dalam memandang segala perbedaan. Kyai Hasyim Asy'ari juga meninggalkan pesan
tentang hal ini dalam Muktamar NU ke-XI, 9 Juni 1936 yang berbunyi, “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’)
kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan.”
Sumber: hidayatullah.com
Comments
Post a Comment