Sombong
Sumber: Tuhan Maya Asyik.
Sujiwo Tejo dan Dr. M.N. Kamba
Entah karena baru dapat durian runtuh atau apa, tiba-tiba ayah Dharma membelikan pulpen yang bagus banget buat anaknya. Ballpoint itu harum sepanjang waktu. Warna yang ditorehkannya otomatis mengikuti keinginan menulis.
Suatu hari Dharma ingin menulis warna merah ke Samin. Keluarlah warna merah para suratnya. Suatu hari Dharma ingin pura-pura menulis surat cinta pada Christine, jadilah warna pink.
Walau pulpennya paling bagus di antara teman-temannya, tak ada satu pun diantara mereka yang iri maupun dengki terhadap Dharma. Buchori yang pulpennya paling jadul pun tetap bisa ketawa-ketiwi ketika di depan matanya sendiri Dharma sedang asyik menulis sesuatu dengan pulpen saktinya.
Ayah Dharma sangat bangga terhadap putranya. "Kita ini memang turunan orang-orang yang rendah hari, Dhar," katanya. "Sebenarnya Bapak tidak mendapat rezeki nomplok sehingga membelikanmu pulpen yang tak dimiliki oleh teman-temanmu semua. Itu hasil tabungan selama bertahun-tahun. Bapak cuma ingin menguji, apakah kamu bisa mengatasi rasa yang paling berbahaya: rasa sombong."
Namun, bulan madu kebanggaan antara ayah dan anak rupanya tak berlangsung lama. Setelah itu ayah Dharma sering marah-marah. Pasalnya, sudah berkali-kali ayah Dharma mengajaknya ke rumah ibadah, Dharma tak kunjung mau pergi. Sekali dua kali ayah Dharma cuma mengelus dada. Tapi tidak setelah kejadian itu mencapai lebih dari 17 kali.
"Maumu apa?!" bentak ayah Dharma.
"Maaf, ayah. Aku belum mau turut ayah pergi ke rumah ibadah karena belum yakin akan satu hal."
"Belum yakin apa?!" suara ayah Dharma makin meninggi. "Kamu nggak yakin pada agama kita?!"
"Untuk pulpen dan lain-lain aku bisa, Ayah..."
"Bisa apa?!"
"Bisa aku atasi rasa sombong. Tapi aku belum yakin, apakah setelah pergi ke rumah ibadah nanti aku bisa menguasai rasa sombong."
'Hah? Sombong apaaaaa?!"
"Sombong karena aku merasa aku lebih baik dari yang tidak pergi ke rumah ibadah."
Comments
Post a Comment