Tamu Entah Siapa
(Ribut-ribut soal
Freeport, tulisan dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ini masih relevan dibaca
walau ditulis lebih dari 20 tahun lalu)
Tamu itu datang, tiba-tiba saja ia sudah berada di ruang
dalam rumahku, siapa ia?
Ketika kami mulai bicara, ia sudah tahu hampir semua hal
tentang diriku, bahkan tentang seluk beluk rumahku, kebunku, kolam di belakang,
juga apa-apa yang ada di bawah tanahnya, bahkan ia seperti tahu persis setiap
kata-kata dalam batinku.
Lebih dari itu, dengarlah katanya, "Di bawah tanah
rumahmu ini terdapat barang yang amat berharga. Tetapi karena engkau tak mampu
dan tak punya biaya untuk menggalinya sendiri, maka sebaiknya akulah yang
mengerjakannya. Cuma ada beberapa syarat yang kuminta...."
Aku menganggukkan kepala. Karena aku sendiri memang merasa
tidak mampu mengambilnya, maka aku setujui semua persyaratan yang dimintanya.
Kupikir inilah cara untuk membuktikan isi kekayaan rumahku yang sesungguhnya.
Perkara anggota-anggota keluargaku nanti kugunakan kekuasaanku.
Soalnya tergiur betul aku rasanya. Dan lagi aku akan memperoleh
keuntungan khusus dari pekerjaan ini. Entah kenapa, ingin aku rasanya menyembah
tamuku yang mulia. Tapi tak usahlah begitu. Aku toh punya sesembahan sendiri.
Cukuplah kiranya aku menghormati ala kadarnya. Aku toh sudah diajarinya
bagaimana lebih maju, lebih meningkat, serta bagaimana semestinya manusia
menentukan kebutuhan-kebutuhan hidupnya bagi hari depan yang lebih mulia. Lebih
dari itu, lihatlah rambutku sudah kupotong persis seperti rambutnya. Pakaianku
sudah kubikin seperti pakaiannya. Dan entah bagaimana, engkau pun tahu, aku
bergerak persis seperti geraknya, berjalan seperti jalannya, berkelakukan
seperti kelakuannya, kulakukan segala sesuatu seperti yang dicontohkannya,
bahkan hasrat-hasratku pun kini persis seperti hasrat-hasratnya.
Lihatlah juga ia telah berhasil menggali barang-barang
berharga itu, yang ternyata membikin apa saja. Seluruh keluargaku diuntungkan,
dan pekerjaan ini tak mungkin dilakukan tanpa kemampuan tamuku itu beserta
modal yang diberikannya.
Ia bawa pulang sebagian besarnya.
Tak apa. Aku ini peramah dan penyabar. Hal ini toh
membikinku kaya raya. Ada satu dua anggota keluargaku yang memperingatkan agar
aku lebih memperhitungkan jangka panjang untung ruginya. Aku tersenyum karena
ia hanya cengeng, dan segera terdiam ketika kuingatkan bahwa pendapatnya itu
bisa merugikan dirinya sendiri, yakni bisa terjauh dari keuntungan-keuntungan
khusus dari tamu itu. Ia terdiam ketika kutanya: Jika kupertimbangkan jangka
panjang, apakah engkau bisa menjamin bahwa keponakan yang menggantikan kita
besok bakal melanjutkan? Biarlah kita hargai kesempatan ini sebab besok pagi
setiap orang juga akan menghargainya.
Ada juga seseorang lain bertamu ke dalam diriku dan
mengatakan, "Engkau tertidur dalam bangunanmu, engkau membangun dunia yang
akan jadi semu oleh kurun waktu."
Namun siapa pun tahu, kata-kata itu tolol dan sia-sia.
Daftar pustaka:
Nadjib, Emha Ainun. 1992. "Slilit Sang Kiai". Jakarta. Penerbit
Grafiti
Comments
Post a Comment