Susah Payah Belanda untuk Menaklukkan Palembang
Seluruh koloni Belanda yang
berhasil dikuasai oleh Inggris kembali diserahkan kembali ke Belanda hasil
persetujuan Konvensi London 1814. Namun reaslisasi konvensi ini baru terjadi
dua tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1816. Alhasil, Palembang yang sebelumnya
dikuasai Inggris dikembalikan kembali ke Belanda. Bagi gubernur Inggris yang
ditugasi menguasai Palembang, yaitu Gubernur Jenderal Raffles, tindakan Inggris
mengembalikan Palembang ke Belanda merupakan hal yang akan merugikan.
Lalu, Belanda mengangkat Herman
Warner Muntinghe sebagai komisiaris di Palembang. Muntinghe segera bertindak
untuk menjaga kembali stabilisasi di Palembang. Ia mencoba mendamaikan Sultan
Mahmud Badaruddin II dan Sultan Husin Diauddin yang bertengkar satu sama lain
karena adu domba Inggris. Saat itu disepakati bahwa Sultan Husin Diauddin yang
pernah bekerjasama dengan Inggris harus turun tahta dan diganti oleh Sultan
Mahmud Badaruddin II.
Penunjukkan Sultan Mahmud
Badaruddin sebagai sultan oleh Belanda hanya merupakan taktik agar melembutkan
pemberontakan oleh rakyat Palembang. Tapi, hal ini tidak berhasil mempengaruhi
rakyat Palembang.
Ketika Muntinghe melakukan
penjajakan ke wilayah Muara Rawas dengan alasan inspeksi dan inventaris daerah,
tidak diduga serangan dari rakyat yang setia kepada Sultan Mahmud Badaruddin berhasil
membuat Belanda kocar-kacir.
Ketika kembali ke Palembang,
Muntinghe mengultimatum agar Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Putera
Mahkota kepadanya sebagai bukti kesetiaan sultan kepada Belanda. Sultan Mahmud
Badaruddin menolak tawaran tersebut dan siap beserta pengikutnya untuk
bertempur melawan Belanda demi mempertahankan tanah airnya.
Pertempuran melawan Belanda pecah
pada tanggal 12 Juni 1819. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin
berhasil menewaskan banyak pasukan Belanda. Dengan semangat juang yang tinggi,
pasukan-pasukan Belanda tidak berhasil menguasai Palembang.
Perlawanan Belanda tetap tidak
membawakan hasil hingga akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia (sekarang Jakarta).
DI Batavia, Muntinghe melaporkan segala yang terjadi di Palembang. Mendengar
hal ini, Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen marah dan segera
membicarakan langkah-langkah kedepannya dengan Constantijn Johan Wolterbeek dan
Mayjen Hendrik Merkus de Kock. Hasilnya Belanda mengirim dengan kekuatan
dilipatgandakan untuk membalas kekalahan sebelumnya dan melengserkan Sultan
Mahmud Badaruddin.
Sultan Mahmud Badaruddin sudah
mengira bahwa Belanda akan melakukan upaya balas dendam besar-besaran. Untuk
itu, beliau memperkuat sistem pertahanan Palembang dengan membangun
benteng-benteng pada beberapa tempat di
Sungai Musi. Benteng ini akan berperan penting bagi pertahanan Palembang karena
letaknya yang strategis sebelum masuk ke kota Palembang.
Pada 21 Oktober 1819, pertempuran
di Sungai Musi dimulai dengan sebuah tembakan ke udara oleh Belanda. Tembakan
pertama ini disambut oleh pasukan Belanda dengan menembakkan meriamnya ke arah
pejuang Palembang. Belanda tetap kewalahan dengan sikap para pejuang Palembang.
Baru berlangsung sehari pertarungan ini, Constantijn Johan Wolterbeek
memutuskan untuk menyudahi perang. Pada 30 Oktober 1819, ia memutuskan untuk
kembali ke Batavia.
Belanda datang kembali ke
Palembang dengan kekuatan yang lebih besar lagi pada tanggal 16 Mei 1821.
Pasukan Belanda mulai memasuki perairan Sungai Musi dan kontak senjata di kedua
kubu mulai terjadi. Pertempuran mencapai puncaknya pada 20 Juni 1821 yang
mengakibatkan Belanda kalah lagi untuk kesekian kalinya. Walaupun kalah,pimpinan
perang Belanda, Hendrik Merkus de Kock belum ingin kembali ke Batavia dan mulai
menyusun strategi baru.
Pada bulan Juni 1821 itu
bertepatan dengan bulan suci umat Islam, Bulan Ramadhan. Untuk itu, kedua pihak
memanfaatkan hari Jum’at (bagi umat Islam) dan hari Minggu (untuk umat Kristen)
untuk melakukan ibadah dan menghentikan perang sejenak. De Kock melihat situasi
ini dengan pandangan berbeda untuk memenangkan perang. Ia pun mulai menyusun
strategi penaklukkan Palembang.
Awalnya, De Kock memang tidak menyerang
pasukan Sultan Mahmud Badaruddin ketika bertepatan hari Jum’at. Hal ini
dilakukannya agar pasukan sultan juga tidak menyerang mereka yang beragama
Kristen pada hari Minggu. Taktik ini berhasil, pasukan Sultan Mahmud Badaruddin
meletakkan senjata mereka pada hari Minggu.
Situasi inilah yang dimanfaatkan
De Kock. Ia beserta pasukannya menyerang pasukan Sultan Mahmud Badaruddin pada
dinihari ketika mereka masih menyantap sahur. Tentu serangan tiba-tiba ini
berhasil melumpuhkan kekuatan Palembang karena mereka mengira bahwa pasukan
Belanda tidak akan menyerang mereka pada hari Minggu karena melangsungkan
ibadah. Akhirnya, Palembang benar-benar jatuh ke tangan Belanda dan pada 1 Juli
1821 berkibar bendera rod, wit, en blau
yang meresmikan kolonilisme Belanda di tanah Palembang.
Untuk mengantisipasi
pemberontakan lanjutan, Belanda memutuskan untuk mengasingkan Sultan Mahmud
Badaruddin ke Ternate. Di Ternate-lah, sultan meninggal dunia seusai perjuangan
tidak henti mempertahankan tanah airnya, Palembang.
Sumber: Wikipedia
Comments
Post a Comment