Haji Agus Salim: Pendidikan Belanda Merupakan Jalan Berlumpur
Pahlawan Nasional yang berasal dari Koto Gadang ini lahir
dengan nama Mashudul Haq yang mempunyai arti pembela kebenaran. Haji Agus Salim
lahirdi Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884.
Pernah suatu ketika jurnalis asal Belanda yang bernama Jef
Last kaget bukan main ketika mendengar penuturan pemuda yang bernama Islam
Basari dengan memakai Bahasa Inggris. Ia sangat fasih dan lancar dalam
mengeluarkan kata demi kata dalam Bahasa Inggris. Keheranan Jef Last bukannya
tanpa alasan, ia tahu bahwa pemuda tersebut tidak pernah mencicipi pendidikan
formal sebagaimana pemuda lainnya.
Keheranan Jef Last terjawab setelah ayahnya yang bernama Haji
Agus Salim menjelaskan bagaimana proses pendidikan anaknya. “Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda
diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda
ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris, dan Islam (Basari)
pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”
Haji Agus Salim memang tidak menyekolahkan anak-anaknya pada
sekolah-sekolah pendidikan formal. Semua anak-anaknya, ia sendiri yang mendidik
dengan rancangan metode yang telah ia susun. Lancarnya Islam Basari berbicara
dengan Bahasa Inggris di hadapan jurnalis Belanda bukanlah hal aneh karena
bahasa sehari-hari yang digunakan di keluarga Haji Agus Salim adalah bahasa
asing.
Bahasa Inggris bukanlah satu-satunya bahasa asing yang
dikuasai oleh Haji Agus Salim. Bahasa-bahasa lain seperti, Belanda, Prancis,
Jepang, Turki, dan Arab mampu ia kuasai. Dalam kesempatan berpidato, Haji Agus
Salim kerap melemparkan guyonan dengan menggunakan bahasa asing tersebut.
Pendidikan rumah yang diterapkan Haji Agus Salim dilakukan
secara santai tanpa kelas seperti halnya sekolah formal umumnya. Putra-putrinya
menerima pelajaran menulis, membaca, dan berhitung secara menyenangkan.
Pendidikan sejarah, nilai sosial, dan budi pekerti diterapkan Haji Agus Salim
dengan cara bercerita dan dalam obrolan sehari-hari.
Anak-anaknya diberi kebebasan dalam mengutarakan pendapat
dan mengkritik ketika tidak sependapat dengan argument yang diajukan. Cara ini
dilakukan Haji Agus Salim agar anak-anaknya tidak terpaku dengan ilmu mentah
yang diberikannya. Mereka harus kembali mengolah ilmu tersebut menjadi sebuah
penemuan di dalam kehidupannya.
Haji Agus Salim juga menggalangkan metode hobi membaca
kepada anak-anaknya. Ia sendiri yang menyediakan buku-buku yang diantaranya ada
buku berbahasa asing.
Pendidikan rumah yang diterapkan Haji Agus Salim bukanlah
berarti ia mengharamkan pendidikan sekolah formal. Karena ia sendiri menempuh
pendidikan formal pada masa kolonial Belanda. Bahkan, ketika ia masih
bersekolah di Hogere Buger School (HBS),
Haji Agus Salim mendapatkan predikat lulusan terbaik di tiga kota besar,
Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya. Saat itu HBS yang setara dengan SMA
merupakan sekolah kolonial yang dipenuhi anak-anak dari Belanda dan Eropa.
Setelah lulus HBS. Haji Agus Salim berniat meneruskan
pendidikannya ke luar negeri. Ia berminat untuk bersekolah di sekolah
kedokteran di Belanda. Tapi, predikat sebagai lulusan terbaik HBS tidak
otomatis membuatnya menerima beasiswa kedokteran di Belanda. Karena Haji Agus
Salim hanyalah seorang pribumi yang bukanlah dari keluarga terpandang maka
pupuslah harapan tersebut. Dari petugas ia mendapati kata-kata berikut, “Tak ada beasiswa untuk inlander (pribumi).”
Pengalaman ini yang mungkin membuat Haji Agus Salim tidak
ingin menyekolahkan anaknya di sekolah kolonial Belanda. Dalam pandanganya
sekolah kolonial hanyalah sebagai “Jalan Berlumpur”. Sehingga ia tidak ingin
anak-anaknya masuk ke dalam kubangan lumpur tersebut.
Dari kedelapan anaknya, hanya satu yang merasakan pendidikan
formal. Itupun karena anak terakhir Haji Agus Salim tersebut besar pada masa
sesudah kolonial Belanda. Namun, Haji Agus Salim mampu mendidik anaknya ke
pintu pengetahuan yang luas dan bermanfaat.
Sumber: Tirto.id I Wikipedia
Comments
Post a Comment