Karomah Sunan Giri ketika Pulang Berdagang dari Banjarmasin
Raden Paku atau yang juga dikenal dengan Sunan Giri
merupakan salah satu anggota Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa. Sunan Giri merupakan anak dari Maulana Ishaq yang merupakan seorang ulama
yang berdakwah di Blambangan pada era Majapahit. Ketika di Blambangan ini ayah
Sunan Giri menikah dengan Dewi Sekardadu, Putri dari penguasa Blambangan.
Raja Blambangan yang bernama Prabu Menak Sembuyu termakan
hasutan dari Patih Bajul Sengara yang mengatakan bahwa pengaruh Maulana Ishaq
di masyarakat akan memperlemah kekuasaan Prabu Menak Sembuyu di Blambangan.
Sebenarnya hasutan yang diutarakan oleh Patih Bajul Sengara diawali
kecemburuannya terhadap pernikahan Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu. Sejak awal
Patih Bajul Sengara menaruh hati kepada pesona Dewi Sekardadu.
Atas dasar ini dengan terpaksa
Maulana Ishaq meninggalkan Blambangan ketika istrinya mengandung Sunan Giri
tujuh bulan. Ia berpesan kepada istrinya agar jika anaknya lahir kelak
laki-laki maka diberi nama Raden Paku.
Lahirnya Raden Paku alias Sunan
Giri tidak dimanfaatkan oleh Patih Bajul Sengara untuk memprovokasi Prabu Menak
Sembuyu untuk membuang anak itu ke laut. Dengan sedih Dewi Sekardadu melihat
anak kesayangannya dibuang ke laut.
Sunan Giri ditemukan oleh anak
buah kapal dari seorang saudagar perempuan Nyai Ageng Pinatih. Anak tersebut
lalu ditunjukkan kepada Nyai Ageng Pinatih dan diangkat menjadi anak. Ketika
dewasa Sunan Giri dipercaya memimpin perdagangan oleh Nyai Ageng Pinatih.
Perdagangan yang dilakukan oleh
Sunan Giri sampai pulau Kalimantan tepatnya di Banjarmasin. Tiba di
Banjarmasin, Sunan Giri mendapati penduduk Banjarmasin yang sedang mengalami
paceklik. Melihat hal ini Sunan Giri memutuskan untuk tidak menjual barang
dagangannya dan lebih memilih memberikan semuanya secara gratis. Banyak penduduk
Banjarmasin yang bersimpati kepada beliau.
Tindakan yang dilakukan Sunan
Giri membuat awak kapal menjadi was-was khawatir jika Nyai Ageng Pinatih marah
melihat semua ini. Selain itu kondisi kapal yang sama sekali tidak membawa
beban dikhawatirkan akan membuat kapal oleng diterjang ombak. Karena biasanya
kapal dagang ini membawa hasil dagang yang sangat banyak dari Banjarmasin
seperti hasil hutan yang membantu menjadi pemberat kapal.
Menanggapi hal ini Sunan Giri memerintahkan
awak kapal untuk mengisi karung-karung dagang yang awalnya dibawa dari Jawa
untuk diisi dengan batu dan pasir sebagai pemberat kapal. Dibawah pimpinan
Sunan Giri kapal berlayar menuju kampung halaman di Gresik.
Sampai di Gresik, Nyai Ageng Pinatih
kaget karena melihat hasil dagangannya dari Banjarmasin hanya berupa karung
berisi batu dan pasir. Kekhawatiran awak kapal benar adanya. Nyai Ageng Pinatih
marah melihat keadaan ini, termasuk kepada Sunan Giri. Raden Paku atau Sunan
Giri mencoba menenangkan ibu angkatnya itu dengan memberikan keterangan apa
sebenarnya terjadi di Banjarmasin. Beliau juga menasehati ibu angkatnya itu
kalau-kalau hal ini ditakdirkan Allah karena Nyai Ageng Pinatih terlalu pelit,
tidak bersedekah, atau lupa membayar zakat.
Mendengar penuturan Sunan Giri,
Nyai Ageng Pinatih lalu tersadarkan. Ia sudah meikhlaskan barang dagangannya
yang semuanya diberikan kepada penduduk Banjarmasin. Ketika Nyai Ageng Pinatih
mengecek kembali kapal dagangan yang digunakan Sunan Giri ia terkejut. Betapa
tidak, karung-karung yang awalnya hanya berisi batu dan pasir berubah menjadi
kumpulan emas yang bernilai tinggi. Versi lain mengatakan karung-karung tersebut berubah menjadi hasil bumi Kalimantan yang kualitasnya lebih baik dari biasa
yang ia dapatkan.
Seiring berjalannya waktu Nyai
Ageng Pnatih bertambah kaya. Namun, kekayaannya ini digunakan untuk membantu
para fakir miskin dan untuk menyukseskan dakwah Islam.
Referansi: Barjie B,
Ahmad. 2013. “Kerajaan Banjar Dalam Bingkai Nusantara (Deskripsi dan Analisis
Sejarah)”. Banjarmasin. CV. Rahmat Hafiz Al Mubaraq.
Comments
Post a Comment