Kisah Dua Sahabat, Soekarno dan Buya Hamka
Ketika itu di Yogyakarta tahun 1941 Soekarno bertemu untuk
pertama kalinya dengan Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dalam
acara Mukatamar Muhammadiyah ke-30. Ketika itu, Indonesia belum merdeka dan
Soekarno belum menjadi Presiden Indonesia.
Soekarno kembali bertemu dengan Buya Hamka ketika berada
dalam masa pengasingan di Bengkulu. Oei Tjing Hin (H. Abdul Karim) yang
merupakan seorang muslim Cina mengajak Buya Hamka menemui Soekarno di
pengasingan. Terjadilah perbincangan antara Soekarno dan Buya Hamka selama
sekitar dua jam. Perbincangan ini menjadikan keduanya semakin akrab.
Saat sudah menjabat menjadi presiden pertama Indonesia
Soekarno mengajak Buya Hamka untuk hijrah ke Jakarta. Namun, hal ini tidak
kesampaian karena agresi militer Belanda tahun 1947. Setahun kemudian akhirnya
mereka bertemu disaat Soekarno mengunjungi Buya Hamka di Bukittinggi, Sumatera
Barat. Kedatangan Soekarno ke Bukittinggi membuat Buya Hamka gembira dan
menghadiahkan kepada Soekarno sebuah puisi berjudul ”Sansai Juga Aku
Kesudahannya”.
Tahun 1949 setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, Buya
Hamka memboyong keluarganya untuk hijrah ke Jakarta. Dalam sebuah acara
peringatan Israj dan Miraj Nabi Muhammad SAW, Buya Hamka diminta oleh Soekarno
untuk memberikan wejangan di Istana Negara. Buya Hamka juga kerap diminta oleh
Soekarno untuk mengimami sholat pada peringatan hari besar Islam, seperti
Sholat Idul Fitri di Lapangan Benteng tahun 1951.
Kedekatan dua sahabat ini mulai merenggang ketika Buya
Hamka menjadi anggota Konstituante. Mereka dipisahkan oleh perbedaan ideology.
Buya Hamka yang bergabung dengan Masyumi bersama Fraksi Partai Islam lainnya
memperjuangkan Negara berdasarkan Islam. Sementara Soekarno tetap
mempertahankan dan mempercayai bahwa Pancasila sebagai penengah diantara
perseteruan ideology di Indonesia.
Perbedaan ideology ini sempat membuat Buya Hamka dan Sokarno
terputus komunikasi diantara keduanya. Mereka kembali bertemu ketika melayat
pada acara pemakaman Mohammad Yamin. Pertemuan tersebut tidak mampu mendamaikan
Buya Hamka dan Soekarno.
Malah setelah dua tahun sejak pertemuan mereka pada
pemakaman Mohammad Yamin, Buya Hamka dijebloskan oleh Soekarno ke penjara tanpa
proses pengadilan. Hal ini tidak lepas dari lawan politik Hamka di PKI yang
mempengaruhi Soekarno bahwa Buya Hamka terlibat dalam acara pembunuhan.
Walau dijebloskan ke penjara dengan alasan yang tidak masuk
akal oleh lawannya politiknya, Buya Hamka tidak menyimpan dendam kepada aktivis
PKI maupun Soekarno. Hal ini diklarifikasinya ketika ia bebas dari penjara.
Saat itu dalam sebuah acara yang digelar Dewan Kesenian Jakarta tahun 1969 Buya
memaparkan bahwa ia tidak pernah
melarang peredaran buku Pramoedya Ananta Toer yang merupakan anggota Lekra
(underbow PKI). "Kalau tidak suka
pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis
buku pula, kata beliau," kata Taufiq Ismail mengenang sosok Buya Hamka
dalam pegantar buku Ayah.
Pramoedya Ananta Toer merupakan pengasuh kolom seni-budaya
pada surat kabar Bintang Timur yang
pro PKI. Di kolom tersebut para sastrawan yang kontra dengan PKI dihabisi lewat
tulisan-tulisan, mereka seperti HB jasin, Sutan Takdri Alisjahbana, Trisno
Sumardjo, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, Bur Rasuanto, tidak ketinggalan Buya
Hamka. Apalagi Buya Hamka aktif di Masyumi dan Muhammadiyah.
Puncak dari serangan PKI terhadap Buya Hamka terjadi ketika
ia dituduh dalam perencanaan pembunuhan terhadap Soekarno dan Menteri Agama. Sejak
itu, nama Buya Hamka dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya
dimatikan dan buku-buku karangannya dilarang peredaran. “Buku-buku karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa lagi memenuhi
undangan untuk berdakwah. Pemasukan uang terhenti," cerita Irfan
Hamka, anak Buya Hamka
Namun, Buya Hamka yang berkapasitas sebagai ulama yang
menjadi panutan umat tidak sedikitpun ingin dendam kepada Soekarno. Hal ini
dibuktikannya ketika Soekarno meninggal dunia.
Berita meninggalnya Soekarno disampaikan oleh Kafrawi (Sekjen
Departemen Agama) dan Mayjen Soeryo (ajudan Presiden Soeharto) yang datang ke
rumah Buya Hamka. Para utusan ini menyampaikan pesan Soekarno yang ingin
diimami oleh Buya Hamka ketika dilakukan shalat jenazah untuk dirinya.
“Jadi beliau sudah
wafat?” kata Hamka bertanya kepada Kafrawi.
“Iya Buya. Bapak telah
wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.”
“Bila aku mati kelak,
minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” kata Sukarno
berpesan.
Buya Hamka yang terkejut mendengar berita tersebut langsung
saja pergi menuju Wisma Yaso. Sampai di sana beliaulah yang menjadi imam shalat
jenazah Soekarno yang pernah menjebloskan dirinya ke penjara. Bahkan, beliau
memuji keberhasilan Soekarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana
Negara dan Masjid Istiqlal.
“Saya tidak pernah
dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa.
Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan
anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak
mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu.”
Sumber: Republika
Comments
Post a Comment