Pesantren Perjuangan Tebuireng
Pesantren Tebuireng didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada
tahun 1899 di Jombang, Jawa Timur. Dari pesantren inilah kelak akan lahir
organisasi pergerakan Islam yang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Seperti
Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Majelis Syuro A’la
Indonesia (Masyumi) dan tidak ketinggalan laskar-laskar yang berjuang secara
fisik, seperti Sabilillah dan Hizbullah.
Berdasarkan cerita warga sekitar penamaan Tebuireng berasal
dari kerbau milik seorang warga. Kerbau tersebut memiliki kulit kuning. Pada
suatu saat kerbau kuning tersebut hilang. Setelah dicari kesana-kemari pemilik
kerbau tersebut menemukan kerbaunya berada di rawa-rawa dalam keadaan
terperosok. Tubuh kerbau tersebut dipenuhi lintah yang membuat kulitnya yang
berwarna kuning berubah menjadi hitam. Pemilik kerbau yang kaget melihat
kerbaunya dalam keadaan tersebut berteriak ”Kebo
ireng …! Kebo ireng …!” Hingga terkenal lah wilayah tersebut dengan nama
Keboireng
Sebelum pendirian Pesantren Tebuireng, wilayah Keboireng
dipenuhi kegiatan maksiat seperti lokalisasi, judi, dan minum minuman keras.
KH. Hasyim Asy’ari mengerti betul sikap pemerintah colonial Belanda terhadap
pesantren. Belanda merasa pesantren lebih dari sekedar tempat menuntut ilmu
tetapi juga tempat pergerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Sebab itulah KH. Hasyim Asy’ari mensiasati pesantrenya
dengan Padepokan Silat. Setiap malam Jum’at selalu diadakan atraksi pencak
silat oleh para santri. Hal ini mampu menarik perhatian penduduk sekitar yang
berimbas sepinya lokalisasi Keboireng.
Pengaruh KH.Hasyim Asya’ri dan Padepokan Silat-nya membuat
pimpinan wilayah Keboireng yang dibekingi oleh Belanda, yaitu Wiro menjadi
gusar. Wiro mencoba mengganggu Padepokan Silat KH.Hasyim Asy’ari beserta santrinya
dengan melancarkan berbagai terror. Melihat hal ini, Kiai Sakiban salah seorang
yang dekat dengan KH. Hasyim Asy’ari meminta izin kepada beliau untuk
menduelkan santrinya dengan Wiro.
KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung menyetujui hal ini. Namun
karena adanya masukkan dari para santri yang ingin membebaskan penduduk
Keboireng dari pimpinan Wiro maka beliau setuju. Pertarungan pun dilakukan di
dalam padepokan untuk menghindari pelanggaran terhadap hukum Belanda.
Padepokan Silat diwakili oleh santri yang bernama Abdullah
asal Cirebon untuk bertarung dengan Wiro. Uji tanding pun dilakukan yang
memenangkan Abdullah. Berita kemenangan ini menyebar ke seluruh Keboireng.
Seiring berjalanannya waktu banyak masyarakat yang tertarik dengan Padepokan
Silat KH. Hasyim Asy’ari. Dengan semakin adanya dukungan masyarakat Keboireng
maka KH. Hasyim Asy’ari mengubah padepokan menjadi pesantren yang bernama
Tebuireng. ."Di Pondok Pesantren
Tebu Ireng ini kita berharap anak didik yang belajar, ibarat tanaman tebu hitam
yang kelak akan beguna dan bernilai tinggi di masyarakat, bangsa dan
agama," ujar KH Hasyim Asy’ari.
Pesantren Tebuireng semakin dikenal oleh penduduk Jawa dan
Madura. Jumlah santri yang awalnya hanya 28 orang pada tahun 1899 meningkat
menjadi 200 orang tahun 1910. Sepuluh tahun kemudian jumlah santri menjadi 2000
orang yang diantaranya ada yang berasal dari Malaysia dan Singapura. KH. Hasyim
Asy’ari mendidik para santrinya dengan telaten. Beliau juga membantu pendirian
pesantren-pesantren yang didirikan oleh santrinya diantaranya, Pesantren Lasem
(Rembang, Jawa Timur), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif
(Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah Syafi’iyah (Asembagus,
Situbondo), dan Nurul Jaidid (Probolinggo).
Tahun 1942 pemerintah Jepang melakukan sensus terhadap
seluruh Kyai dan ulama di Pulau Jawa. Dari data yang didapat diketahui bahwa
rata-rata ulama di Pulau Jawa pernah menjadi nyantri di Tebuireng. Bahkan
secara diam-diam Syaikhona Kholil Bangkalan pernah datang ke Pesantren Tebuireng
untuk menghadiri pengajian KH. Hasyim Asy’ari yang membahas Hadist
Bukhari-Musiim.
Kehadiran Syaikhona Kholil Bangkalan memberi isyarat bahwa
KH. Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang diakui akan ilmunya dan akan menjadi
penerusnya kelak. Karena itulah para ulama di tanah Jawa memberikan gelar Hadratusy Syeikh kepada KH. Hasyim
Asy’ari.
Sumber: tebuireng.online I Sindonews
Comments
Post a Comment