Hijrahnya Habib Idrus Al-Jufri ke Indonesia
Habib Idrus bin Salim Al-Jufri yang juga dikenal dengan
panggilan Guru Tua merupakan ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Beliau
memutuskan hijrah ke Indonesia dan hidup di sini sampai akhir hayatnya dan
dimakamkan di Palu, Sulawesi Tengah. Sumbangsih beliau bagi rakyat Sulawesi begitu
besar dalam pendidikan Islam. Beliau menjadi inisiator lembaga pendidikan Islam
Alkhairaat yang terhitung hingga akhir tahun 2004 mempunyai 1.561
Madrasah/sekolah, 34 Pondok Pesantren yang tersebar di wilayah Indonesia Timur,
serta Universitas AlKhairaat (UNISA). Atas jasa-jasa Guru Tua inilah nama
beliau diabadikan menjadi nama bandara di Palu.
Habib Idrus Al-Jufri atau Guru Tua lahir di Hadrmaut pada
tanggal 15 Maret 1892. Kakek beliau yang bernama Habib Alwi dikenal sebagai
ulama yang termasuk lima ahli fiqih yang fatwa beliau dibukukan dalam Bughyatul
Mustarsyidin karangan Sayyed Abdurrahman Al-Masyhur. Sementara ayah Guru Tua,
yaitu Habib Salim merupakan ulama yang banyak membuat tulisan dari berbagai ilmu.
Selain itu, ayah Guru Tua juga memegang jabatan sebagai Qadhi dan Mufti.
Ketika ayah beliau meninggal pada 1916, Guru Tua yang baru
berusia 25 tahun diangkat oleh sultan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai
Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut. Dalam perkembangannya, Guru Tua
melepas jabatan Mufti di kota Taris karena lebih memilih berjuang memerdekakan
negerinya yang ketika itu dijajah Inggris.
Bersama sahabat dekatnya yang bernama Habib Abdurrahman bin
Ubaidillah As-Saqqaf, Guru Tua mempelopori semangat perlawanan untuk melawan
Inggris. Guru Tua dan Habib Abdurrahman menyusun sebuah rencana perlawanan
dalam rupa dokumen yang isinya menjelaskan keadaan negerinya dalam genggaman
penjajahan. Dokumen itu direncanakan akan diresahkan kepada Negara-negara Arab
yang merdeka. Namun sayang ketika Guru Tua ingin pergi ke luar negeri untuk
menjalin kerjasama dengan negeri lain beliau ditangkap oleh petugas di
pelabuhan Aden.
Alhasil dokumen-dokumen tersebut dirampas begitu saja.
Kejadian ini mengakibatkan Guru Tua dilarang untuk bepergian ke negeri-negeri
Arab tapi diperbolehkan untuk kembali ke Hadramaut. Sementara sahabat beliau,
Habib Abdurrahman memilih untuk kembali ke Mekkah
Guru Tua memutuskan untuk hijrah ke Indonesia setelah
peristiwa tersebut. Bagi Guru Tua Indonesia bukanlah hal yang asing karena ibu
beliau, Syarifah Nur Al-Jufri berasal darii Indonesia tinggal di Manado. Saat
itu ketika berusia 17 tahun Guru Tua diajak ayahnya untuk mengunjungi ibunya di
Manado. Hijrah Guru Tua ke Indonesia untuk kali kedua ini lebih dari sekedar
bersilaturahmi kepada keluarganya namun membawa sebuah misi dalam mengembangkan
pengetahuan Islam di masyarakat.
Sesampainya di Indonesia beliau singgah terlebih dulu di
Pekalongan dan Solo. Di Solo, beliau bertemu dengan muridnya yang berasal dari
Hadramaut namun sudah lama tinggal di Solo. Bersama muridnya yang bernama
Sayyid Ahmad bin Muhammad beliau mendirikan madrasah yang bernama Perguruan
Rabithah Al-Alawiyyah.
Setelah itu Guru Tua menyempatkan diri pergi ke Jombang,
Jawa Timur. Di Jombang beliau berkenalan dengan Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari
pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Guru Tua dan Kyai Hasyim menjalin hubungan baik
terlebih mereka sama-sama penganut Mazhab Syafi’i.
Petualangan Guru Tua menyusuri pelosok Indonesia juga sampai
ke Maluku. Di sini beliau berdakwah ke daerah-daerah seperti Bacan, Jailolo,
Morotal, Patani, Weda, dan Kayoa. Setelah dari Maluku, kakak beliau mengajak
untuk tinggal di Manado. Menyetujui ajakan kakaknya, Guru Tua berlayar menuju Manado
dan berlabuh pada tahun 1929 di Pelabuhan Wani.
Guru Tua hanya setahun tinggal di Manado. Beliau mendapat
telegram tentang hasil musyawarah masyarakat Palu yang menginginkan adanya
madrasah di daerah mereka. Guru Tua lalu menuju Palu pada tahun 1930 untuk
membantu masyarakat dalam pendirian madrasah, untuk masalah gaji para pengajar
Guru Tua sendiri yang akan mengusahakannya.
Di Palu inilah dengan berdiri Madrasah Alkhairaat yang
dikepalai oleh Guru Tua. Para santri yang menimba ilmu di Allhairaat tidak
dipungut biaya sedikitpun. Hal ini karena Guru Tua mengadaptasi pola pendidikan
Arab yang tidak membebankan biaya pada muridnya. Dalam masalah gaji para
pengajar dan staf. Guru Tua sendiri yang menanganinya dari hasil dagangan
beliau.
Perjuangan Guru Tua atau Habib Idrus Al- Jufri dalam
berdakwah ke pelosok Indonesia selesai ketika beliau meninggal pada hari senin
12 Syawal 1389 H (22 Desember 1969). Jasa beliau bagi warga Palu meninggalkan
420 madrasah di seluruh wilayah Palu.
Sumber: Wikipedia I alchairaat.sch.id
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete