Naskah Proklamasi Pernah Dibuang ke Tempat Sampah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 masih meninggalkan cerita. Malam sebelum proklamasi dikumandangkan Bung Karno dilakukan perumusan naskah teks proklamasi di rumah seorang berkebangsaan Jepang bernama Laksamana Maeda. Teks proklamasi tersebut ditulis tangan langsung oleh Bung Karno. Baru ketika sudah final diketik oleh Sayuti Melik.
Saat perumusan tersebut hadir juga seorang wartawan yang
bernama Burhanuddin Mohammad Diah (B.M. Diah). BM Diah berdiri tepat di
belakang Sayuti Melik ketika melakukan pengetikan teks proklamasi tersebut.
Dari sana diputuskan bahwa naskah proklamasi yang akan
dipakai pada 17 Agustus 1945 adalah hasil ketikan Sayuti Melik bukan hasil
tulis tangan Bung Karno. Sementara itu, naskah hasil tulis tangan Bung Karno di
buang oleh Sayuti Melik ke tempat sampah. "Naskah
proklamasi yang didikte Bung Hatta dan ditulis tangan oleh Bung Karno itu
sempat dikuwel-kuwel dan dibuang setelah Bung Sajuti Melik mengetik naskah asli
Proklamasi. Suami saya mengambil naskah draft itu, dirapikan dan diselipkan ke
buku catatan yang dibawanya," kenang Siti Latifah Herawati Diah, istri
BM Diah, suatu ketika.
Di saat itulah BM
Diah memungutnya dan menaruhnya ke saku di celananya. "Kemudian Diah memungut (naskah Proklamasi) itu, dimasukin ke saku
celananya," tutur Dasman Djamaluddin, penulis buku 'Butir-butir Padi
B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman'
Namun, sayang BM Diah tidak sempat menyaksikan secara
langsung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karena sudah terlanjur berada di
Lapangan Ikada yang menjadi tempat rencana awal dikumandangkannya kemerdekaan
Indonesia sebelum dipindah ke Jalan Pegangsaan Timur. Setelah selesai
dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia maka BM Diah menyebarkan berita ini ke
seluruh pelosok Indonesia.
Teks proklamasi tulisan tangan Bung Karno tersebut disimpan
rapi oleh BM Diah. Baru ketika tahun 1992 teks proklamasi tersebut
diresahkannya kepada Presiden Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai
presiden Indonesia. Penyerahan ini membuat sebagian pihak terkejut. Mereka mengira
bahwa teks proklamasi tersebut sudah lenyap dibiarkan begitu saja.
Atas jasa-jasa beliau untuk Indonesia, Soeharto memberikan
penghargaan Bintang Mahaputra Utama kepada beliau pada tahun 1978. BM Diah
merupakan putera asli Aceh yang lahir pada 7 April 1917. Karirnya pada dunia
pers dimulai ketika beliau belajar jurnalistik di Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang ketika itu
dipimpin oleh Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. BM Diah banyak
balajar dari Douwes Dekker selama bersekolah di Ksatriaan Instituut.
Seusai lulus di Ksatriaan
Instituut, BM Diah memutuskan untuk menuju Medan dan bekerja sebagai
redaktur harian Sinar Deli. Tidak lama tinggal di Medan, BM Diah kembali ke
Jakarta bekerja sebagai tenaga honorer di Sin Po lalu pindah ke Warta Harian.
Sebulan setelah Indonesia merdeka BM Diah bersama pemuda
lainnya melakukan aksi dengan merebut percetakan “Djawa Shimbun” milik Jepang.
Karena kecintaan beliau pada dunia pers, BM Diah memutuskan membuat surat kabar
yang ia namakan “Merdeka” pada Oktober 1945.
Sumber: Tempo I Detik
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete