Suara Lantang 'Medan Prijaji' Menentang Belanda
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia Belanda
(Indonesia) surat kabar memegang peranan
penting dalam membentuk opini masyarakat. Ketika itu surat kabar memang sudah
terbit di Hindia Belanda namun pemberitaannya cenderung memihak kepada Belanda.
Hal ini dikarenakan kepemilikan surat kabar tersebut dimiliki oleh orang-orang
Eropa khususnya Belanda.
Perlawanan terhadap pemberitaan surat kabar Belanda yang
tidak berimbang dipelopori oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang mendirikan
surat kabar bernama ‘Medan Prijaji’ pada Januari 1907. Medan Prijaji menjadi
surat kabar pertama milik pribumi yang mamakai bahasa Melayu (bahasa Indonesia)
dalam pemberitaannya.
Sebelum terbitnya Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo
bekerjasama dengan H.M. Arsad dan Oesman mendirikan badan hukum milik pribumi
yang bernama N.V. Javaansche Boekhandel
en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften. Badan hukum ini dibentuk dengan
modal f75.000 yang terdiri dari 3.000 lembar saham.
Dengan dana tersebut terbitlah surat kabar Medan Prijaji
secara mingguan pada hari Jum’at. Surat kabar ini di cetak di percetakan Khong
Tjeng Bie di daerah Betawi dengan ukuran mungil (12,5x19,5 cm). Beberapa
bangsawan melihat ‘Medan Prijaji’ sebagai suara perlawanan dari kaum pribumi.
Untuk itu, Bupati Cianjur yang bernama RAA Prawiradiredja dan Sultan Bacan
Oesman Sjah tidak segan-segan menggelontorkan dana untuk Medan Prijai sebesar
masing-masing f1.000 dan f500.
Medan Prijaji muncul sebagai pengkritik terkemuka bagi
Pemerintahan Kolonial Belanda. Disediakan
rubrik khusus untuk penyuluhan hukum gratis bagi kaum pribumi yang diperkarakan
secara tidak adil. Selain itu rubrik surat dan jawaban juga banyak digemari
karena dapat menampung keluhan dari rakyat pribumi yang ditindas oleh Belanda.
Tirto Adhi Soerjo sebagai pemimpin redaksi begitu vocal
menyuarakan kesengsaraan dan ketidakadilan yang dialami rakyat pribumi. Setiap
kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang memberatkan rakyat tidak luput
sedikit pun dari pemberitaan Medan Prijaji.
Salah satu tulisan fenomenal dari Tirto Adhi Soerjo adalah
mengenai persekongkolan antara Aspirant
Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono mengenai
pengangkatan Lurah Desa Bapangan yang dipenuhi dengan kelicikan. Dengan
blak-blakan Tirto Adhi Soerjo menulis pejabat yang bersangkutan dengan
panggilan monyet penetek atau ingusan.
Secara khusus warga Desa Bapangan berkirim surat kepada Tirto yang isinya
memberi dukungan terhadap investigasi yang dilakukannya. Mereka pun siap
pasang badan jikalau Tirto dikenakan denda atas tulisannya.
Benar saja, atas tulisan yang ia buat, Tirto Adhi
Soerjo dikenakan perkara persdelict dan dibuang ke Lampung dua
bulan. Namun, dari kejadian ini Tirto Adhi Soerjo lewat Medan Prijaji semakin
dikenal karena perjuangan melawan Kolonial Belanda lewat pers.
Medan Prijaji semakin berkembang dengan awalnya hanya
diterbitkan seminggu sekali pada hari jum’at berubah menjadi surat kabar harian
yang terbit setiap hari kecuaii pada Jum’at, Minggu, dan hari raya. Surat kabar
harian Medan Prijaji memuat tulisan moto yang berbunyi "Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka
swaranya Anak-Hindia." Pada masanya kata-kata tersebut termasuk hal
yang berani dalam dunia pers di Hindia Belanda yang dipelopori oleh Medan
Prijaji.
Menurut laporan Rinkes Medan
Prijaji merupakan surat kabar yang mampu mengambil perhatian lebih dari
masyarakat dengan jumlah pelanggan yang mencapai 2.000 orang. "Untuk harian Eropa di Hindia pun sudah
merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu...."
Perjuangan Tirto Adhi Soerjo lewat
Medan Prijaji terhenti setelah adanya keputusan dari Pemerintah Kolonial
Belanda untuk menutup surat kabar tersebut. Pada tanggal 3 Januari 1912 menjadi
terakhir kalinya Medan Prijaji menerbitkan surat kabar dan 23 Agustus 1912
resmi ditutup oleh Belanda.
“Karena
Tirto ini memang artinya idealismenya ini untuk kemajuan pribumi, dia pembela
pribumi dan dengan posisi itu kan dia sering sekali bersinggungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Jadi penyebab utamanya itu, melawan kebijakan
kolonial,” jelas Daniel Dhakidae Mantan Kepala Penelitian Pengembangan
(Litbang) Kompas.
Sumber: Wikipedia I Okezone
Comments
Post a Comment