VOC, Perusahaan Besar yang Akhirnya Bangkrut
Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) merupakan sebuah kongsi dagang milik Belanda
yang didirikan pada tahun 1602. Perusahaan kongsi dagang ini bertujuan untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Hindia Timur (Indonesia). Jika
dilihat dari sejarahnya, VOC merupakan perusahan multinasional pertama di
dunia. Selain itu, VOC juga memperkenalkan pertama kali ke dunia penerapan
sistem pembagian saham perusahaan.
Walau hanya sebagai perusahaan
dagang, VOC mempunyai pengaruh besar di wilayah Hindia Timur. Hal ini
disebabkan VOC diberi hak istimewa (oktrooi)
oleh pemerintah Belanda. Diantara hak istimewa tersebut yang membuat VOC
bagaikan negara di dalam negara ialah diizinkannya VOC memiliki angkatan perang
untuk melakukan pengambil alihan daerah. VOC juga memiliki hak untuk memungut
pajak dan memonopoli perdagangan daerah yang dikuasai serta mempunyai mata uang
sendiri.
Pada tahun 1603 VOC memiliki izin untuk mendirikan kantor
perwakilan di Banten. Tujuh tahun berselang Pieter Both diangkat sebagai
Gubernur Jenderal VOC pertama dengan basis administrasi di Batavia (Jakarta).
Sebelum di Batavia, VOC terlebih dahulu mengangkat Federik de Houman sebagai
Gubernur Jenderal VOC di Ambon pada tahun 1605.
Tidak hanya di Hindia Timur, VOC juga mempunyai pos-pos
dagang di belahan dunia. Seperti di Persia (Iran), Ceylon (Sri Lanka), Malaka
(Malaysia), Kanton (Cina), Formosa (Taiwan), Deshima (Jepang), dan Tanjung
Harapan (Afrika Selatan). Khusus pos VOC yang berada di Tanjung Harapan
bertugas untuk menyediakan kapal menuju Asia Timur.
Dalam perkembangannya VOC pada tahun 1669 berhasil menjadi
perusahaan pribadi terkaya sepanjang sejarah dengan perlengkapan 150 kapal
dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, 10.000 tentara, dan pembayaran deviden
sebesar 40%. Hal ini berdampak pada kehidupan mewah yang dijalani oleh petinggi
dan pegawai VOC.
Besarnya pendapatan petinggi VOC ini dimanfaatkan oleh
Gubernur Jenderal untuk membeli tanah pribadi di Batavia. Gubernur Jenderal Van
Imhoff membeli tanah di kawasan Kamung Baru yang ia rubah namanya menjadi Buitenzorg. Sekarang Buitenzorg dimanfaatkan oleh pemerintah
Indonesia sebagai Istana Bogor. Gubernur Jenderal lainnya yang menghamburkan
uangnya untu membeli tanah di Batavia ialah Jacob Mossel yang membeli tanah di
Senen-Gunung Sahari sampai Waterlooplein
(Lapangan Benteng) dan Albertus Parra yang membangun villa dengan kemewahannya
di Weltevreden yang kini dialih
fungsikan menjadi RSPAD Gatot Subroto.
Kehidupan mewah para petinggi VOC ini juga tergambar ketika
Gubernur Jenderal Van den Parra dilantik diadakan pesta besar yang mengundang
para bupati untuk menghadiri. Pesta pora menjadi budaya bagi para petinggi VOC
sebagai bentuk perayakan juga terjadi di kantor cabang di Persia, Jepang. Dan
Sri Lanka.
Para nyonya Belanda juga dimanjakan dengan kehadiran para
budak yang mereka beli. Setiap nyonya Belanda kerap diiringi oleh lima budak
yang bertugas untuk memayungi, menggotong tandu, serta menjaga anak-anak
mereka. Budak ini didatangkan dari Andaman, Malabarm Malaka, dan Goa. Bagi
masyarakat Belanda ketika itu budak yang banyak merupakan symbol kemakmuran dan
kekayaan yang mereka miliki.
Kehidupan super mewah petinggi dan pegawai VOC membuat
kebutuhan meningkat. Gaji yang dapat dikatakan sudah banyak tidaklah cukup. Hal
inilah yang membuat sebagian pegawai VOC melakukan korupsi untuk memenuhi nafsu
gaya kehidupan mewah yang mereka jalani. Alhasil perusahaan yang berhasil
mereka bangun dengan menguasai monopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara
bangkrut pada tahun 1799. Armada kapal VOC yang tersebar di seluruh dunia
menjadi tidak ada artinya ketika perusahaan ini dinyatakan bangkrut dengan
meninggalkan hutang 140 juta gulden.
Sumber: Republika I Wikipedia
Comments
Post a Comment