Perti, Ormas Islam dari Ranah Minang
Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang pada
tahun 1945, umat Islam Indonesia sudah berjuang jauh sebelum itu. Mereka berjihad
membela agama dan tanah air dengan melakukan kontak fisik dengan tentara
Belanda. Selain itu, demi memperkokohkan dan menyatukan umat dalam satu wadah
maka dibentuklah organisasi Islam. Selama ini kita hanya mengenal Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang popular di telinga
masyarakat. Padahal masih banyak ormas Islam di Indonesia yang lahir sebelum
Indonesia merdeka. Salah satunya Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau yang
disingkat menjadi Perti.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah didirikan pada tanggal 20 Mei
1930 di Candung, Sumatera Barat. Awal mula pendirian Perti didasari ketika Kaum
Muda merubah proses pendidikan agama di Bumi Minangkabau. Kaum Muda ini mengubah
sistem pendidikan surau (halaqah) menjadi madrasah.
Pengubahan sistem pendidikan ini tidak langsung diterima
dengan mudah oleh Kaum Tua yang lebih memilih tetap mempertahankan sistem surau.
Namun, salah satu tokoh dari Kaum Tua yaitu Syekh Abbas tertarik dengan
pembaharuan sistem pendidikan yang dilakukan oleh Kaum Muda.
Syekh Abbas lalu mendirikan sekolah Arabiyah School di Ladang Lawas pada tahun 1918. Enam tahun
berselang Syekh Abas kembali mendirikan Islamiyah
School di Alur Tajungkang. Kedua sekolah ini sudah memakai sistem madrasah.
Gencarnya gerakan yang dilakukan Kaum Muda sedikit
membuahkan hasil. Tokoh Kaum Tua lainnya yaitu Syekh Sulaiman Ar- Rasuli juga
mengubah sistem pendidikan di Surau Baru Candung menjadi berkelas madrasah.
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli juga menambahkan beberapa fasilitas pendidikan modern.
Langkah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli juga diikuti oleh sahabat-sahabatnya dari Kaum
Tua. Seperti Syekh A. Wahid Tabek Gadang di Payakumbuh, Syekh Muhammad Jamil
Jaho di Padang Panjang, Syekh Arifin di Batu Hampar dan sahabat-sahabat
lainnya. Alhasil sistem pendidikan madrasah mulai menyebar luas di bumi
Minangkabau.
Pesatnya perkembangan madrasah di Minangkabau membuat Syekh
Sulaiman Ar-Rasuli berinisiatif untuk menyatukan ulama dari Kaum Tua dalam satu
wadah. Maka diputuskanlah pertemuan tanggal 5 Mei 1928 di Candung. Dari
pertemuan tersebut terbentuklah Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang
memperjuangkan dan mengembangkan pendidikan madrasah-madrasah di Minangkabau.
Pertemuan ini juga menyepakati pola yang diajarkan pada madrasah termasuk nama,
sistem pengajaran, dan kurikulum.
Walau para ulama yang berkumpul sepakat untuk Persatuan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah namun secara formal organisasi ini belum resmi. Biar
begitu Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah membuat keinginan para ulama
Minangkabau untuk bersatu dengan pembentukan organisasi semakin terbuka lebar.
Pertemuan pun kembali diselenggarakkan pada 20 Mei 1930 di
Candung. Hasil rapat di pertemuan ini ialah disepakati pembentukan organisasi
yang bernama Persatuan Tarbiyah
Islamiyah yang kala itu disingkat menjadi PTI dengan ketua yang dijabat oleh Sulta’in.
Setahun berselang diadakan pertemuan di Batu Hampar dengan
agenda pembenahan organisasi. Ketua organisasi beralih ke Syekh Abdul Madjid
Koto Nan Gadang sementara sekretaris dijabat oleh Syahruddin Marajo Dunia. Pada
pertemuan ini pula seluruh anggota turut berbangga karena mendapat informasi
bahwa Syekh Sulaiman Ar-Rasuli mendapatkan penghargaan Grote Zilveren Ster dari Pemerintah Hindia Belanda karena berhasil
mewujudkan kerjasama yang harmonis antara ulama dan kaum adat.
Pada tahun 1932 dilaksanakanlah kongres pertama di Koto Nan
Ampek Pakayumbuh. Pada kongres ini muncul ide untuk mengganti nama organisasi
menjadi Persatuan Islam Indonesia yang dimotori oleh Kaum Muda. Respon Kaum Tua
terhadap ide penggantian nama oganisasi pada awalnya tidak keberatan.
Namun, setelah dipikirkan kembali ide tersebut dibatalkan
secara sepihak oleh Kaum Tua karena khawatir memancing kecurigaan Pemerintahan
Kolonial Belanda karena menonjolkan nama nasionalisme.
Seiring berjalannya waktu kepemimpinan ketua Pengurus Besar
Tarbiyah akhirnya dijabat oleh Syekh Sirajuddin Abbas hasil rapat Kaum Tua di
Candung pada tahun 1935. Masa kepemimpinan Syekh Sirajuddin Abbas organisasi
ini merubah nama singkatan yang sebelumnya PTI menjadi Perti. Selain itu,
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga juga disahkan di masa kepemimpinan
beliau. Untuk masalah pers, Perti di bawah kepemimpinan Syekh Sirajuddin Abbas
juga berhasil menerbitkan majalah Soearti.
Demi memperkokoh persatuan umat Islam di Pulau Sumatera,
Perti memutuskan untuk menggabungkan diri pada Majelis Islam Tinggi (MIT). Di
MIT ini segala sesuatu persoalan-persoalan agama Islam dibincagkan. Namun, pada
Desember 1945 MIT bertransformasi menjadi Masyumi cabang Sumatera.
Melihat perubahan organisasi di tubuh MIT, Perti memutuskan
untuk keluar dan tidak bergabung dengan Masyumi. Perti lalu membuat partai
tersendiri setelah melaksanakan kongres tanggal 22-24 Desember 1945 di
Bukittingi. Para pimpinan Perti meliht betapa pentingnya kekuasaan politik
untuk mempertahankan paham agama Islam yang berakidah ahlussunnah wal jamaah.
Perhelatan pemilu di Indonesia tahun 1955 Partai Perti
memperoleh suara yang kurang signifikan. Partai ini hanya mampu mengirimkan
wakilnya di DPR sebanyak 4 orang dan 7 orang di kursi Konstituante. Kurangnya
suara Partai Perti disebabkan pusat partai ini di Sumatera bukan di Jawa yang
merupakan wilayah dengan penduduk terbanyak.
Dalam kongres ulama di Palembang tahun 1957 salah satu tokoh
Perti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli mengkritik pemerintah yang bersikap memberi hati
terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan, beliau mengeluarkan fatwa
bahwa komunis merupakan kufur dan haram bagi umat Islam untuk mengikuti PKI.
Pada masa Demokrasi Terpimpin Perti mendukung kepemimpinan
Presiden Soekano. Para ulama Perti berpendapat bahwa kedudukan Islam dalam
negara yang berhaluan Manifestasi Politik Usdek (UUD 45, Sosialisme, Demokrasi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) yang dipimpin Soekarno sudah baik. Perti
juga menilai Presiden Soekarno memiliki pandangan yang baik terhadap Islam.
Eksistensi Perti mulai pudar ketika pecah menjadi dua kubu
yang dipimpin Sirajuddin Abbas dan Rusli A. Wahib. Walau dua kubu ini
berseberangan merek tetap mempertahankan sikap kooperatif terhadap pemerintah
yang ketika itu masa Orde Baru. Bahkan, kubu Perti pimpinan Sirajuddin Abbas bergabung
dengan Golkar untuk memenangkan pemilu tahun 1971. Bergabungnya Perti ke Golkar
semakin menenggelamkan eksistensi Perti di Indonesia
Sumber: wawasansejarah.com
Comments
Post a Comment