Damaskus di Masa Lampau


Damaskus punya cerita yang banyak dalam peradabannya. Kota yang berjuluk Madinat Al-Yasmin ini sekarang menjadi ibukota dari negara Suriah. Damaskus merupakan kota terbesar di negara ini. Sebelum menjadi ibukota Suriah, Damaskus punya sejarah panjang yang tidak akan bosan ketika diceritakan kembali.

Berdasarkan dokumen sejarah, Damaskus silih berganti dimiliki oleh beberapa kerajaan kuno. Kerajaan Assiria yang ketika itu dipimpin oleh Raja Tiglath Pileser III pernah menguasai kota ini pada tahun 732 SM. Kemudian pada tahun 572 SM oleh Neo-Babilonia dibawah Raja Nebuchadnezzar berhasil  menguasai Damaskus. Tidak lama berselang Raja Cyrus dari Persia berhasil merebut Damaskus pada tahun 538 SM. Raja Cyrus mengambil tindakan dengan menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan dan militer untuk wilayah di Provinsi Suriah.

Pada tahun 333 SM kekuasaan Damaskus jatuh ke Barat. Tokoh dibalik ini adalah Alexander Agung dari Macedonia yang berhasil merebut Damaskus.  Oleh penerus Raja Alexander yaitu Seleucus memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke Damaskus walaupun dalam perkembangannya ibukota kembali dipindah ke Antiokia.

Zaman berlanjut dan Damaskus kembali berpindah tangan ke dalam genggaman Kekaisaran Romawi. Ketika itu pasukan Romawi dari Jenderal Pompeius berhasil merebut Damaskus. Ketika Kekaisaran Romawi pecah menjadi dua, Romawi Barat dan Romawi Timur (Byzantium), Damaskus menjadi bagian dari Byzantium. Hal ini menguntungkan bagi Kekaisaran Byzantium karena letak Damaskus yang menjadi penghubung antara dua provinsi penting yaitu Anatolia dan Mesir.

Damaskus kembali berpindah tangan. Hal ini terjadi pada tahun 635 M ketika dibawah Khalifah Umar bin Khattab umat Islam berhasil menaklukan kota ini. Masuknya Islam ke Damaskus membawa dampak besar bagi peradaban kota ini. Apalagi setelah Muawiyah bin Abu Sufyan menjadikan Damaskus sebagai ibukota Dinasti Umayyah. Hal ini menjadi catatan sejarah karena Damaskus menjadi kota di luar Jazirah Arab pertama yang menjadi pusat pemerintahan Islam.

Di zaman Khalifah Walid bin Abdul Malik di Damaskus berdiri rumah sakit yang juga berfungsi pusat studi kedokteran pertama. Lain lagi masanya ketika Damaskus dipimpin oleh Sultan Nuruddin Zanki. Dibawah pimpinan beliau banyak dibangun masjid, madrasah, dan pusat kesehatan publik.

Sultan Nuruddin menaruh perhatian lebih terhadap pendidikan agama di Damaskus. Hal ini terlihat dengan pembangunan pusat studi hadist pertama yang bernama Dar al-Hadits. Selain itu, dibangun pula Madrasah Al Nuriyya Al Kubra dan Madrasah Al-Adiliyah yang sekarang berubah menjadi Arab Academy of Damascus.

Kesaksian akan kota Damaskus pada masa kejayaan Islam ini didokumentasikan oleh Ibnu Jubair, seorang penjelajah dari Andalusia. Ketika itu Ibnu Jubair menyaksikan betapa majunya pendidikan di Damaskus. Para pelajar dan mahasiswa asing mendapat fasilitas lengkap sekaligus gratis di Masjid Umayyah.

“Setiap orang di Barat (Andalusia) yang ingin meraih sukses datang ke kota ini (Damaskus) untuk belajar. Sebab, fasilitas dan bantuan di sini begitu melimpah. Para pelajar yang menimba ilmu di sini tak pernah khawatir kekurangan makanan dan tempat bernaung,” jelas Ibnu Jubair dalam catatan perjalanannya.
                                                                                                                                    
Penjelajah muslim lainnya yaitu Ibnu Battuta ketika menginjakkan kakinya di Damaskus begitu kagum dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Ibnu Battuta menjadi saksi betapa dermawan dan pemurahnya masyarakat Damaskus.

Di Damaskus ketika itu banyak berdiri lembaga-lembaga amal untuk membantu penduduk yang tidak berkemampuan. Bahkan dalam pengakuannya, Ibnu Battuta tidak mampu menghitung lembaga amal di Damaskus karena begitu banyaknya. Orang-orang yang tidak mempunyai biaya untuk berhaji pun akan mendapat bantuan dari lembaga amal tersebut.

Masyarakat Damaskus juga gemar mewakafkan hartanya untuk kepentingan publik. Tidak sedikit berdirinya madrasah, masjid, dan rumah sakit hasil dari wakaf para dermawan. Bahkan seorang dokter terkenal  di Damaskus, Muhaddab Eddin Al-Dawhar menjadikan rumahnya di dekat Masjid Umayyah menjadi madrasah pengkajian ilmu kedokteran. Ia juga mewakafkan hartanya untuk kelangsungan madarasah ini.

“Kota ini diselubungi rasa sosial yang sangat tinggi,”  ungkap Ibnu Battuta tentang masyarakat Damaskus.

Sumber:  Republika   I   “Musim Semi di Suriah Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi” oleh Trias Kuncahyono

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel