Belanda Berbisnis Kopi di Indonesia
Jauh sebelum populer di Eropa, Bangsa Arab terlebih dahulu
mengenal kopi. Ketika itu meminum kopi menjadi kebiasaan bagi mereka yang ingin
terjaga sepanjang malam untuk beribadah. Hingga akhirnya kopi sampai ke tanah
Eropa melalui Turki. Menurut sejarawan Turki Ibrahimi Pechevi yang singgah di
kedai kopi menyebutkan situasi ketika orang-orang menyeruput secangkir kopi, “…beberapa membaca buku, dan menulis […]
beberapa orang membuat puisi baru, dan membicarakan sastra.”
Selanjutnya kopi hadir di Venezia (Italia) dibawa oleh
pedagang yang pulang dari Timur Tengah. Di Italia, tidak semua kalangan dapat
menerima minuman ini. Diantara mereka yang menolak kopi beranggapan bahwa
minuman ini melanggar aturan agama. Hal ini memaksa Paus harus turun tangan
merespon perkara tersebut. Ketika ia meminum kopi tersebut langsung terpikat. Pendapatnya
bahwa terlalu sayang rasa senikmat itu malah dinikmati orang-orang penyembah
berhala (non-katolik).
Semakin meluasnya penikmat kopi di Eropa membuat minuman ini
menjadi potensi bisnis. Hal ini dimanfaatkan oleh perusahaan Belanda yaitu VOC.
Mulanya VOC membeli kopi di pelabuhan Mocha, Yaman kemudian membuka kamar
dagang di tempat tersebut. Perdagangan kopi yang dilakukan VOC pun dimulai dan menjualnya
ke Eropa dengan harga tinggi.
Keuntungan VOC dari perdagangan di Eropa tidaklah begitu
signifikan. Diantara penyebabnya ialah mereka masih kalah saing dengan Turki di
pasaran.
VOC lalu mengubah taktik dengan membudidayakan biji kopi di
tanah jajahan mereka. Pada tahun 1696, Gubernur Jenderal van Hoorn mendapatkan
biji kopi dari mertuanya di Malabar, India. Biji ini ditanam di kebun miliknya daerah
Batavia dan Cirebon. Ketika panen diketahui bahwa kopi yang dihasilkan sangat
baik.
Spontan saja nafsu monopoli bisnis VOC berjalan mengetahui
hal ini. Daerah dataran tinggi Priangan (yang terbentang dari sebelah barat Cianjur
sampai ke Timur Ciamis) ditanami biji kopi dengan kualitas terbaik.
Para petani dipaksa Belanda untuk menanam kopi. Hasil panen
dari petani tersebut lalu dijual ke VOC dengan harga yang sangat murah. Selain itu
para petani juga dipaksa mengantar sendiri hasil panennya ke gudang-gudang VOC.
Lahan mereka yang dipaksa ditanami kopi membuat komoditi tanaman lainnya tidak cukup
lahan, khususnya sawah untuk menanam padi.
Kondisi seperti ini membuat sebagian warga memilih untuk
pindah kampung dari daerah Priangan dan lebih memilih untuk menetap di Banten.
Harapan rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu VOC
hampir terang ketika perusahaan ini bangkrut pada tahun 1799. Namun apa daya, setahun kemudian pemerintah Belanda mengambil alih budidaya kopi ini. Belanda memaksa
setiap keluarga menanam 250 pohon kopi. Bahkan dua tahun berselang angka
tersebut dinaikkan menjadi 500 pohon kopi per keluarga.
Ketika Gubernur Jenderal Daendels menjabat diberlakukan
kebijakan baru. Setiap panen kopi tersebut diserahkan langsung kepada bupati
setempat. Ia menggantinya dengan sistem persentase pada bupati dan bawahannya. Kebijakan
ini berhasil menaikkan panen kopi menjadi 120 ribu pikul.
Pada tahun 1825 meletus perang Jawa yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro. Perang ini sangat menguras kas Belanda. Untuk menutupi kas tersebut, Belanda
melakukan kebijakan baru dengan menjalankan sistem tanam paksa. Rakyat mau
tidak mau dipaksa untuk menanam komoditi seperti gula, tembakau, dan kopi. Untuk
kopi Belanda memerintahkan penanaman 40 juta pohon per tahun.
Pada tahun 1856 ada 70 juta pohon kopi yang berbuah. Tentu saja
belanda yang membelinya dengan harga sangat murah kepada petani mendapat
keuntungan yang berlipat-lipat dari sini. Dibalik suksesnya bisnis kopi Belanda
terdapat kesengsaraan yang dialami kaum petani.
Kopi Jawa termasuk produk unggulan pada masanya. Hal ini
dapat dilihat pada tahun 1726, total 90% kopi yang didagangkan oleh VOC
berasal dari Jawa. Kopi ini dapat
bersaing dengan kopi Mocha dari Yaman. Namun, sayangnya keuntungan yang didapat
Belanda tidak dirasakan sedikitpun oleh para petani ketika itu
Sumber: jejakislam.net
Comments
Post a Comment