Jalaluddin Rumi, Romantisme Guru dan Murid
Nama Jalaluddin Rumi begitu fenomenal dikalangan sastrawan. Syair, puisi, dan juga esai nya seakan sulit punah di dunia sastra. Karya-karyanya seperti Al-Matsnawi, Diwan Syams Tibriz, dan Kitab Fihi Ma Fihi masih dapat kita jumpai di perpustakaan maupun toko buku walau sudah berumur ratusan tahun. Kelihaian Jalaluddin Rumi ini membuat namanya tidak hanya dikenal oleh kalangan umat Islam tapi dikenal juga oleh dunia. Pesan-pesan cinta pada karyanya berhasil menghinoptis para pembacanya, “Rumi mengubah tanahku menjadi mutiara. Dari debu-debuku ia bangun suatu yang berbeda.” ujar Muhammad Iqbal, penyair kebangsaan Pakistan.
Jalaluddin Rumi lahir di Balkh, salah satu desa di wilayah
Khurasan. Ayah dari Rumi, Bahauddin Muhammad (Baha Walad) merupakan ulama besar
yang ahli dibidang fikih. Baha Walad tercatat sebagai syekh dari Tarekat
Kubrawiyah yang mendapat julukan Sulthan
al-Ulama (Penghulu Para Ulama). Beberapa riwayat mencatat bahwa Baha Walad
masih keturunan dari Khalifah Abu Bakar Assidiq. Sementara ibu dari Jalaluddin
Rumi keturunannya terhubung dengan keluarga raja-raja Khawarizm.
Ketika usia Jalaluddin Rumi masih kecil ayahnya memutuskan
memindah keluarganya menjauh dari Balkh. Hal ini juga bertepatan dengan
serangan tentara Mongol yang semakin meluas. Perjalanan ini pun dimulai pada
tahun 616 H atau 617 H. Setelah menelusuri pinggiran desa-desa di wilayah
Khurasan akhirnya mereka sampai di Nisapur. Di sini mereka berjumpa dengan
Syekh Fariduddin Al-Aththar yang merupakan seorang sufi dan penyair besar.
Syekh Fariduddin melihat sesuatu yang berbeda dari
Jalaluddin Rumi kecil. Ia lalu menghadiahkan buku Asrar Namah kepadanya. Selain itu, Syekh Fariduddin juga menitipkan
pesan kepada ayah Rumi yang isinya, “Anakmu akan dengan cepat memadamkan api
yang bisa menghancurkan dunia.”
Dari Nisapur perjalanan dilanjutkan hingga akhirnya mereka
memutuskan untuk ke Konya. Di Konya keluarga ini mendapat penghormatan lebih
dari penguasa setempat. Di kota ini pula ayah Jalaluddin Rumi meninggal.
Alhasil seluruh tugas dari ayahnya diemban oleh Jalaluddin Rumi sebagai
penerusnya. Jalaluddin Rumi mengemban tugas berupa sebagai ahli fikih, mufti,
dan pengajar.
Setahun setelah wafatnya ayah Rumi datang Burhanuddin
Muhaqqiq ke Konya yang merupakan murid dari ayahnya. Semula Burhanuddin
Muhaqqiq ingin menemui gurunya tersebut, namun apa daya kabar wafatnya ayah
Rumi ini baru diketahuinya setelah sampai di Konya.
Selama berada di Konya Burhanuddin Muhaqqiq memutuskan untuk
membimbing dan mendidik Jalaluddin Rumi. Ia menyarakan kepada Jalaluddin Rumi
agar pergi ke Syam untuk menambah ilmunya. Selama perjalanan menuju Syam, Burhanuddin ikut mendampingi Rumi. Terhitung sejak itu sampai sembilan tahun
Burhanuddin Muhaqqiq menjadi guru dan mursyid bagi Jalaluddin Rumi.
Menurut sebuah riwayat Jalaluddin Rumi sempat tinggal untuk
beberapa waktu di Syam tepatnya di Halab. Beberapa peneliti berpendapat bahwa
ilmu yang didapat di Halab ini banyak mempengaruhi syair Jalaluddin Rumi di
Al-Matsnawi.
Jalaluddin Rumi memutuskan untuk kembali ke Konya dengan
modal ilmu yang ia dapat selama di Syam. Kedatanggannya kembali ke Konya
disambut oleh para ulama dan pengikutnya. Atas saran Burhanuddin Muhaqqiq,
Jalaluddin Rumi melakukan khalwat
(praktik mengasingkan diri) agar benar-benar siap sebagai mursyid dan guru
besar di bidang tasawuf. Pada tahun 638 H, Burhanuddin Muhaqqiq wafat di
Qaisariyah. Selama bertahun-tahun menjadi guru Jalaluddin Rumi sudah tidak
terhitung lagi warisan berbagai macam ilmu yang ia berikan kepadanya.
Rutinitas yang dijalani oleh Jalaluddin Rumi masih berjalan
normal. Hingga akhirnya terjadi perubahan besar pada dirinya. Hal ini terjadi
ketika seorang bernama Syams Tabriz datang ke Konya dan bertemu dengan Rumi. Syams
Tabriz sudah berguru dengan banyak guru tarekat, namun semua guru tersebut
belum mampu menjawab pertanyaan yang terpendam dalam pikirannya. Sebab itu ia
berharap kepergiannya ke Konya dan bertemu dengan Rumi mampu memuaskan
dahaganya akan pertanyaan yang ada dalam pikirannya.
Mereka pun akhirnya bertemu. Kesan pertemuan tersebut
keduanya saling terpukau akan kedalaman ilmu masing-masing. Bahkan sebuah riwayat
mengatakan kehadiran Syams Tabriz bagaikan guntur yang membuyarkan ketenangan
Rumi.
Pertemuan tersebut membuat perbedaan signifikan terhadap
rutinitas Rumi. Hubungan keduanya berubah menjadi guru dan murid. Hal ini
diungkapkan sendiri oleh Sultan Walad putera Rumi, , “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba
menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu
darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang
tiada taranya.”
Namun sayang, kehadiran Syams Tabriz membuat Rumi lalai. Ia mulai
jarang bertemu dan mengajar murid-muridnya. Hal ini membuat para murid Rumi
menuduh Syams Tabriz sebagai biang kerok permasalahan ini. Fitnah pun
bermunculan yang mengakibatkan Syams Tabriz harus menjauh dari Konya untuk
menghindari fitnah yang lebih besar.
Kepergian Syams Tabriz ini membuat Rumi duka yang dalam di
hati Rumi. ia banyak menyibukkan diri dengan sajak-sajak yang hasilnya sangat
memukau bagi para pendengar maupun pembacanya. Dalam diri Rumi terbentuk sebuah
dimensi baru yaitu sebagai mufti-sufi yang mengajak orang-orang tenggelam dalam
rangkaian kata yang ia olah. Kepergian sang guru, Syams Tabriz berhasil mengubah
sosok Rumi. Hingga ia mendengar kabar bahwa Syams Tabriz berada di negeri Syam
(Damaskus). Rumi lantas berkata, “Alangkah
indahnya setiap pagi menjelang jika berada di Syam.”
Rumi berkali-kali mengirim surat kepada Syams Tabriz untuk
kembali ke Konya, tetapi selalu gagal. Ia lalu mengutus puteranya Sultan Walad
untuk pergi ke negeri Syam (Damaskus) mencari Syams Tabriz. Usaha ini berhasil
Syams Tabriz akhirnya kembali ke Konya atas usaha Sultan Walad.
Namun, belum lama rasanya Syams Tabriz kembali ke Konya
kembali muncul fitnah terhadap dirinya. Ada yang menuduh Syams Tabriz sebagai
tukang sihir yang menyebabkan Rumi menjadi gila hingga sering menari jalan. Untuk
kedua kalinya Syams Tabriz memutuskan untuk meninggalkan Konya. Mengetahui hal
ini disebutkan dalam riwayat bahwa Rumi pergi ke Damaskus untuk mencari gurunya
tersebut. Pencarian ini tidak menemukan hasil. Rumi pun kembali ke Konya dalam
tangan hampa.
Kehilangan akan sosok gurunya ini terlihat jelas ketika
Jalaluddin Rumi membuat syair-syair yang menyanjung dan memuji gurunya tersebut
yang dihimpun dalam buku Diwan Syams Tabriz. Selain itu, di masa tuanya
Jalaluddin Rumi juga membuat sebuah mahakarya yang berjudul Al-Matsnawi yang
menghimpun syair-syair indah. Adapula kitab FIhi Ma Fihi yang memuat ceramah
Rumi tentang tasawuf dalam bentuk prosa yang indah.
Sumber: Terjemahan Kitab Fihi Ma Fihi oleh
Penerbit Zaman I www.lakpesdamtulungagung.or.id
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete