Asrar Muhammad
Muhammad al-Mushthafa Saw., laki-laki buta huruf (ummi), yang lahir di tengah kesunyian
padang pasir berbatu jazirah Arabia yang beribu-ribu tahun terkucil dalam
keterasingan, adalah nur asy-syams wa
al-baha’, matahari dan sinar keagungan. Dia memancarkan cahaya rahmat-Nya
ke segenap penjuru dunia dari waktu ke waktu hingga yaum al-akhir, hari akhir. Bagaikan cahaya matahari menyibak
kegelapan malam yang pekat, begitulah cahaya kelembutan dan rahmat yang terpancar
dari keagungan dan kemuliaan-Nya menerangi sudut-sudut hari manusia yang berada
di bawah terang-Nya melalui laki-laki buta huruf ini .
Laki-laki agung penuh kasih yang tubuhnya bersimbah darah
dan kotoran unta ketika menyerukan suara kebenaran iru bukanlah manusia yang
dikenal karena mukjizat yang luar biasa, seperti Nuh, Musa, Sulaiman, dan Isa.
Laki-laki yang selama lima belas tahun suka melakukan tafakkur dan tanaffus di
Gua Hira itu bukan pula pendeta keramat yang hidup terasing di pertapaan, menanggalkan
seluruh atribut kehidupan duniawi. Sebaliknya, ia juga bukan raja kaya raya
yang mencontohkan kemegahan duniawi sebagai kebanggan dan kemuliaan.
Muhammad dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hatinya
dikenal sebagai manusia yang jujur dan terpercaya (al-amin). Pembebas sekaligus sahabat para budak. Penyantun
janda-janda tua dan anak-anak yatim piatu. Ia melarang pembunuhan bayi-bayi
perempuan. Ia adalah manusia bijak yang menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Penyempurna akhlak manusia. Utusan Allah yang memerangi
peganisme-materialisme demi tegaknya ajaran Tauhid. Sejarah mencatat dengan
tinta emas bagaimana laki-laki itu dalam menunaikan tugas kerasulannya telah
menuruni lembah penghinaan dan jurang penistaan, mendaki tebing dan ngarai ancaman,
tergiring di padang belantara terror dan provokasi, dan bahkan di tengah
kelemahan dan keterbatasan fisik harus mengangkat senjata untuk mempertahankan
keberadaan diri dari keterbatasan serangan orang-orang yang memusuhinya.
Bagi para pencari Tuhan seperti Abdul Jalil, menilai
keberadaan Muhammad tidaklah sama dengan sejarawan. Sebab, bagi salik seperti
dirinya, melihat keberadaan Muhammad tidak sekedar sebagai bagian dari sejarah
kemanusiaan dengan segala atribut yang melekat padanya. Menurutnya, yang paling
prinsip adalah keberadaan Muhammad yang fundamentalis sebagai utusan Tuhan (rasulullah), kekasih Tuhan (habibullah), sahabat Tuhan (khalilullah), wali Tuhan (waliyyullah), wakil Tuhan (khalifatullah), pengejawantahan Yang
Terpuji (Ahmad) yang telah mewariskan
perbendaharaan kehidupan ruhaniah yang begitu agung dan menakjubkan bagi
manusia. Dan, yang lebih esensial lagi adalah keberadaannya sebagai jalan (wasilah) untuk mendekat kepada-Nya (QS.
Al-Ma’idah: 35).
Meski belum pernah bertemu muka, Abdul Jalil melalui
berbagai hadis meyakini bahwa Muhammad dalam penampilan fisik akan melampaui
pemuda asing dan aneh yang ditemuinya di Ka’bah maupun hadhrat Abu Bakar
ash-Shiddiq. Sebab, penampilan fisik pemuda asing yang aneh itu hanya dapat
dilihat oleh segelintir orang yang dianugerahi nur lawami’ dan pemahaman fawa’id.
Sementara, penampilan fisik Muhammad dapat disaksikan oleh semua orang yang
hidup sezaman, kecuali mereka yang jiwanya tertutup hijab rain kekufuran.
Muhammad dalam kesaksian istri-istri dan sahabat-sahabatnya
yang hidup sezaman adalah laki-laki yang tidak tinggi, tetapi tidak pendek.
Tidak gemuk, tetapi tidak kurus. Kulitnya tidak putih,tetapi tidak cokelat.
Kedua matanya bercelak, namun tidak layaknya bercelak. Wajahnya elok bagaikan
rembulan purnama, namun juga bagai matahari terbit. Jika berjalan seakan-akan
melangkah di jalanan yang menurun. Langkahnya cepat, namun tenang. Jika
berbicara ada cahaya memancar dari gigi-giginya. Butir-butir keringatnya
laksanakan mutiara dan berbau wangi.
Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz menyaksikan, “Saat memandangnya
seakan-akan melihat matahari yang sedang terbit.” Ka’ab bin Malik berkata, “Jika
sedang gembira wajahnya berkilau seakan-akan sepotong rembulan.” Jabir bin
Samurah berkisah, “Aku pernah melihatnya pada suatu malam yang cerah tanpa
mendung. Kupandang Rasulullah lalu kupandangi rembulan. Ternyata, menurut
penglihatanku, dia lebih indah dari rembulan.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku
tidak pernah melihat orang yang seperti dia sebelum maupun sesudahnya.”
Dari berbagai kesaksian yang diungkapkan oleh orang-orang
yang hidup sezaman, mengenal, dan dekat dengan Muhammad, jelas sekali bagi
Abdul Jalil bahwa utusan Tuhan yang tidak lain dan tidak bukan adalah
leluhurnya itu merupakan anak cucu Adam yang telah tercerahkan dan terlimpahi
keagungan dan kemuliaan-Nya. Bahkan, berdasar uraian rahasia hadhrat Abu Bakar
ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal, ia
meeyakini bahwa Muhammad al-Mushthafa bukan saja manusia pilihan yang dilimpahi
keagungan dan kemuliaan-Nya, melainkan pengejewantahan dan keagungan dan
kemuliaan-Nya itu sendiri.
Mengetahui dan memahami keberadaan Muhammad berdasarkan
pandangan seorang pencari Tuhan, ternyata menggiring Abdul Jalil ke hamparan
kenyataan tak terbantah tentang Muhammad yang lahir sebagai manusia berdarah
dan berdaging yang memiliki atribut-atribut manusiawi. Muhammad adalah Ahmad yang bersabda Ana ahmadun bila mim dan Ana
‘arabun bila ‘ain, yang kepadanya Allah bersabda, Laulaka, laulaka, ma khalaqtu al-aflak (hadis Qudsi) dan Khalaqtuka min nuri wa khalaqtu khalaqa min
nurika (hadis Qudsi).
Tidak dapat diingkari bahwa
setelah perjumpaan menakjubkan dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal, kesadaran demi
kesadaran baru yang tersingkap dari tirai-tirai kemanusiannya berlangsung
begitu mencengangkan sekaligus membingungkan. Namun, di antara
kesadaran-kesadaran baru itu, yang paling penting dan dinilai sangat
revolusioner oleh Abdul Jalil adalah terkuaknya rahasia keberadaan Muhammad
sebagai pengejawantahan paling sempurna dari Yang Terpuji. Selama ini ia telah
memahami pemetaan secara konseptual dan pemahaman ruhani tentang keberadaan-Nya
di dalam Benteng Tak Tertembus, termasuk petunjuk tentang Jalan dan Cara
menuju Benteng-Nya. Namun, yang belum ditemukannya justru keberadaan Pintu (bab) dan Kunci (miftah) untuk masuk ke dalam Benteng-Nya. Selama ini ia hanya
berputar-putar dan berkeliling.
Kini, kesadaran barunya telah
menemukan Pintu dan Kunci itu, yakni Muhammad, yang kedatangannya telah
diberitakan (mubasysyran) oleh Isa
dengan nama Ahmad (QS. Ash-Shaff: 6).
Dialah Muhammad al-Mushthafa yang melalui lisannya mengucapkan sabda Allah,
“Inilah jalanku (sabil). Aku dan
pengikut-pengikutku mengajak engkau kepada Allah dengan bashirah (QS. Yusuf: 108).”
Kesadaran baru itu tersingkap beberapa saat setelah Abdul
Jalil melaksanakan haji Wada’ dan berdoa di Multazam. Saat itu tiba-tiba nur lawami dan kedalaman jiwanya
memancar hingga menggelarkan kesadaran baru betapa Ka’bah sebagai Baitullah pun
memiliki pintu, meski semua orang tahu bahwa hanya ada ruang kosong belaka di
dalamnya. Dengan, demikian pastilah Benteng Tak Tertembus itupun wajib memiliki
pintu, meski yang ada di dalamnya cuma Kehampaan yang tak terjangkau pikiran
dan tak terbandingkan dengan sesuatu.
Pengalaman menakjubkan tentang Nur Muhammad setidaknya menjadi faktor
penentu bagi Abdul Jalil untuk memutuskan pilihan bahwa Muhammad itulah pintu
sekaligus Kunci dari Benteng-Nntu bagi Abdul Jalil untuk memutuskan pilihan
bahwa Muhammad itulah pintu sekaligus Kunci dari Benteng-Nya Yang Tak
Tertembus. Selama ini ia beranggapan bahwa keberadaan Muhammad sebagai wasilah
untuk menuju Dia adalah disebabkan oleh faktor kedekatan (qurb), kecintaan (hubb),
kerinduan (‘isyq), dan keterpilihan (musthafa’) belaka. Lantaran itu, segala
doa tidak akan diterima tanpa disertai shalawat kepada Muhammad.
Kini, ketika kiblat hati dan
pikirannya diarahkan kepada Muhammad, tersingkaplah berbagai rahasia keagungan
dan kemuliaan ilahi yang tersembunyi di balik laki-laki buta huruf dan
terpecaya itu. Terbukti sudah bahwa di balik makna Ana ahmadun bila mim tersembunyi hakikat Ahad. Di balik makna Ana
‘arabun bila ‘ain tersembunyi makna Rabb.
Untuk Allah maka orang-orang beriman diwajibkan shalat dan untuk Muhammad maka
orang-orang beriman diwajibkan bershalawat. Bahkan, nilai shalat dianggap batal
dan tidak sah jika tidak diserta shalawat.
Sadarlah Abdul Jalil bahwa sabda
Allah, Khalaqtuka min nuri wa khalaqtu
khalqa min nurika (hadis Qudsi), berkaitan langsung dengan sabda Allah, “Sungguh
telah datang seorang rasul dari nafs-musendiri (QS. at-Taubah: 128).”
Sumber: Sunyoto, Agus. 2016. Syaikh Siti Jenar: Suluk Abdul Jalil. Bandung. PT. Mizan Pustaka
Comments
Post a Comment