Kesetiaan dan Pengorbanan di Surgi Mufti
Lebih dari seribu tahun yang lalu
jalur-jalur sungai ini menjadi saksi. Mereka bersaksi atas kesetiaan,
pengorbanan, perang, dan cinta. Teringat dalam pikiran menuju ke Surgi Mufti
belakang Masjid Jami’. Sebab di sinilah beristirahat seorang yang begitu setia
kepada orang-orang yang ia kasih. Disebutlah namanya ketika aku berkirim Al
Fatihah, yaitu Pangeran Antasari.
JANGAN PERNAH MENANYAKAN KESETIAAN
PANGERAN ANTASARI KEPADA YANG IA CINTA. Khusunya cinta kepada Banua Banjar juga
rakyat-rakyatnya, hingga kami yang terpaut jarak ratusan tahun. Jalan hidupnya
hanyalah kesetiaan dan pengorbanan.
Beruntung bagi mereka yang hatinya
dipenuhi oleh cinta dan berkasih sayang. Dirinya sirna oleh cahaya cinta.
Bagaikan laron yang mencari cahaya dan mendekat kepada lilin hingga akhirnya ia
terbakar. Dirinya sirna, tidak ada lagi diri, tidak peduli dengan diri: pengorbanan.
Mengorbankan diri demi seorang yang dicintai, bagi orang baru seumur jagung
kalimat ini mungkin bodoh. Diterjemahkan sebagai budak cinta.
Memang itulah sifat dari seorang
pecinta: kesetiaan dan pengorbanan. Kenanglah seorang Antasari sebagai pangeran
kerajaan. Apa sulitnya bagi dirinya untuk bekerjasama dengan musuh dan memilih
untuk hidup mewah di istana. Tapi itu bukan jalan hidupnya. Perang demi cinta
dan meninggalkan segala hal itu sebagai bukti cintanya kepada banua dan
rakyatnya. Inilah budak cinta. Dengan ini pula ia dikenang di seluruh Banua
Banjar. Dengan ini pula, aku tulis kisahnya dengan berlinang air mata sebagai
seorang pangeran yang saat ini merasa kesepian. Wahai pangeran. akan setia
diriku kepada banua ini seperti apa yang telah engkau lakukan. Jika tetap
merasa sepi datanglah ke dalam mimpiku wahai pangeran.
Banjarbaru, 31 Juli 2019
Comments
Post a Comment