Islamnya Dayak Bakumpai
Suku Dayak Bakumpai merupakan salah satu subetnis Dayak
Ngaju yang mendiami daerah aliran sungai Barito. Mayoritas Dayak Bakumpai
berdiam di kota-kota utama seperti Marabahan, Muara Teweh, Buntok, dan Puruk
Cahu. Menurut Tjilik Riwut, Dayak Bakumpai merupakan suku kekeluargaan yang
masih termasuk golongan suku kecil Dayak Ngaju. Sebab itulah bahasa Dayak
Bakumpai memiliki kemiripan dengan bahasa Dayak Ngaju.
Suku Dayak Bakumpai merupakan salah satu subetnis suku Dayak
yang mayoritas beragama Islam. Bahkan kehidupan masyarakat Bakumpai begitu
kental dengan ajaran Islam sebagaimana halnya dengan suku Banjar. Pertalian dua
suku ini sangatlah dekat jika dilihat dari sejarahnya ketika Perang Banjar
pecah yang dipelopori oleh Kesultanan Banjar. Dayak Bakumpai dan Banjar saling
bahu membahu mempertahankan Kalimantan ketika Belanda mencoba menjarah tanah
air mereka.
Suku Banjar memiliki peran penting dalam perkembangan Islam
di Kalimantan. Sebut saja Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang
keturunannya banyak menyebar di seluruh Kalimantan untuk menjadi pengajar dan
menyebar luaskan agama Islam.
Namun jangan pula lupakan peran Suku Dayak Bakumpai dalam
perkembangan Islam di Kalimantan. Bahkan ada beberapa pendapat bahwa Dayak
Bakumpai lebih dahulu mengenal Islam dibandingkan suku Banjar.
“Masyarakat Bakumpai
dulu mendiami sekitar muara Sungai Nagara, sekarang lokasinya ada di Marabahan.
Merekalah yang pertama kali memeluk Islam,” kata Nasrullah sejarawan
Bakumpai sekaligus dosen sosiolog dan antropologi FKIP Universitas Lambung
Mangkurat.
Hal ini dipengaruhi letak kota Marabahan yang strategis
untuk interaksi ke dunia luar. Pada zaman Kerajaan Nagara Daha kota ini
mendapat julukan ‘Kota Perahu’. Ketika itu di Marabahan berdatangan
pedagang-pedagang dari berbagai negara yang berinteraksi dengan penduduk lokal.
Diantara pendatang tersebut ada juga yang sekaligus mendakwahkan Islam.
“Julukan Kota Perahu
itu sangat wajar, karena ketika itu Muara Bahan atau sekarang Marabahan
merupakan bandar dagang internasional. Sebagai bandar, tentu menjadi titik temu
para pedagang berbagai negara dan daerah yang berinteraksi dengan penduduk
lokal,” papar Nasrullah.
“Teori ini juga
dikemukan sejarawan FKIP ULM Yuslian Noor yang menyimpulkan lewat jalur perdagangan,
masyarakat Bakumpai lebih dulu mengenal Islam pada abad ke-14 hingga 19
masehi,” tambah Nasrullah.
Di Hikayat Banjar dan referensi lainnya disebutkan bahwa
Sunan Giri pernah pergi ke Marabahan yang ketika itu pernah menjadi ibukota
Kerajaan Nagara Daha. “Ketika itu, ada
tokoh Bakumpai yang belajar agama Islam ke Kerajaan Demak bernama Khatib Banun.
Sepulangnya dari Pulau Jawa, pada abad ke-14, Khatib Banun turut menyebarkan
agama Islam ke pedalaman Kalimantan, terutama masyarakat Bakumpai,”
tuturnya. Khatib Banun mulai menyebarkan ajaran Islam dari Marabahan hingga
masuk ke daerah pedalaman Sungai Barito. Dakwah beliau juga menyentuh daerah
Hulu Sungai di Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Bakumpai tergolong unik karena ketika mereka memutuskan
untuk masuk Islam tidak serta merta meninggalkan identitas mereka sebagai Suku
Dayak. “Sebagian orang Dayak di daerah
Kalimantan Barat, ada yang mengkonversi diri menjadi orang Melayu pasca memeluk
Islam. Berbeda dengan urang Bakumpai. Justru etnis Bakumpai yang menjembatani
Dayak non muslim dengan masyarakat muslim di Kalimantan,” ungkap Nasrullah.
Pada perkembangannya dari Tanah Bakumpai lahir seorang ulama
masyur pada zamannya. Nama ulama tersebut ialah Syekh Abdussamad bin Mufti
Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau masyur dengan nama Datu
Abdussamad Bakumpai atau Datu Bakumpai. Datu Abdussamad menimba ilmu agama
selama 8 tahun di Mekkah dan akhirnya memutuskan untuk pulang kempung untuk
mendakwahkan ilmunya.
Sumber: jejakrekam.com
Comments
Post a Comment