Tan Malaka di Singapura
Tan Malaka merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia
yang berasal dari ranah Minang. Walaupun menyandang gelar pahlawan nasional
nama Tan Malaka seakan-akan masih tenggelam. Bahkan kisah-kisah perjuangannya
hampir dilupakan begitu saja di zaman ini. Perlu diketahui bahwa pada tahun
1925 Tan Malaka sudah memliliki gagasan mengenai bentuk negara Indonesia ketika
merdeka. Hal ini ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925). Sebuah tulisan yang melampai
zamannya. Bahkan, buku inilah yang menginspirasi perjuangan Soekarno. M. Hatta,
dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Pergerakan liar Tan Malaka dalam memerdekakan Indonesia dilalui
dengan jalan yang sangat berliku. Hal ini pula yang memaksanya untuk memakai
nama samaran untuk menghindari penangkapan. Tan Malaka dikenal oleh pemerintah kolonial sebagai orang buangan politik yang berkelana dari satu negara ke
negara lainnya.
Salah satu penyamaran Tan Malaka yang pernah ia lakukan
ketika berada di Singapura pada tahun 1937 sampai 1942. Tan Malaka menanggalkan
identitasnya sebagai orang Indonesia dan menyamar menjadi orang Tionghoa.
Ketika itu wilayah Singapura masih berada di bawah kekuasaan Inggris.
Ketika pertama kali tiba di di Pelabuhan Penang Tan Malaka
mengubah namanya menjadi Tan Ming Siong. Petugas pelabuhan lalu menhampirinya
dan mengajukan beberapa pertanyaan. Hal ini membuat Tan Malaka sedikit waspada
karena petugas tersebut sepertinya menaruh curiga terhadap dirinya.
Petugas pelabuhan mencoba menjebak Tan Malaka dengan
berlama-lama mengajukan pertanyaan dalam bahasa Mandarin. Jika sekali saja Tan
Malaka terpeleset menggunkan bahasa Melayu atau Inggris maka hal ini akan
berakibat fatal.
Menurut Tan Malaka kefasihan petugas pelabuhan tersebut
dalam bahasa Mandarin sangatlah rendah. Hal inilah yang membuatnya dengan yakin
mengaku sebagai seorang Tionghoa karena kekurang tahuan petugas tersebut
mengenai negerinya sendiri.
“Oleh karena dia belum
pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa-an saya tak perlu
mengangkat bendera putih di depannya ... apabila dia mau membelok kepada bahasa
Melayu atau Inggris entah apa sebabnya –maka saya tetap ber si Tionghoa dan
menarik dia kembali kepada ke-Tionghoa-an,” ujar Tan Malaka dalam
otobiografinya Dari Penjara ke Penjara jilid II.
Tidak ingin berlama-lama akhirnya Tan Malaka berhasil
mengelabaui petugas pelabuhan dengan memberikan ciak-teh, sebuah istilah yang populer di wilayah jajahan Inggris.
Perlu diketahui bahwa wilayah jajahan Inggris memberlakukan peraturan ketat
terhadap imigran Tiongkok. “Dengan
menjalarnya penyakit ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka
“immigration law” Inggris adalah sandiwara semata-mata,” ujar Tan Malaka.
Beranjak dari pelabuhan Tan Malaka pergi menuju kawasan kampung
Geylang di Singapura. Sebelumnya ia juga pernah tinggal di kampung ini selama
sepuluh tahun yang warganya banyak pendatang dari Jawa. Namun, ketika untuk
kedua kalinya tiba di kampung ini ia mendapati telah banyak dihuni oleh warga
Tionghoa.
Di Singapura Tan Malaka sempat mengalami kesulitan dalam
mencari pekerjaan. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Buna seorang pemuda Hokian
sahabat lamanya. Lewat sahabatnya ini ia mendapatkan pekerjaan sebagai guru di
sekolah rendah Tionghoa. Walaupun tidak memiliki ijazah ia tetap diterima
sebagai guru berkat menguasai beberapa bahasan dan mata pelajaran.
Sebenarnya Tan Malaka memiliki ijazah keluaran Hindia
Belanda. Namun hal ini akan berbahaya jika diketahui oleh petugas keamanan. Karena
akan menimbulkan curiga sebagai orang Indonesia yang mahir berbahasa asing. “Mungkin sekali dia komunis pelarian,
demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927,” kata Tan merujuk
tahun di saat terjadinya pemberontakan PKI di Banten dan di Sumatera Barat.
“Di Singapura dalam
masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu diluar
pengetahuan Inggris yang asyik mencium jejak saya), saya beruntung bisa
memanjat dari sekolah rendah sampai kepada Sekolah Menengah Tinggi yang
tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School (NCNS). Di sini
saya melamar jadi guru bahasa Inggris dengan memakai nama Tan Ho Seng.” Ujar
Tan Malaka dakam buku Madilog.
Tan Malaka dalam kesehariannya di Singapura hidup sebagai
seorang Tionghoa sepenuhnya. Ia berbicara memakai bahasa Tionghoa dan bergaul
pula dengan orang-orang Tionghoa.
Ketika Jepang menyerbu Singapura aktivitas statusnya
sebagai pengajar sempat tidak jelas akibat situasi yang tidak menentu. Lalu Tan
Malaka memutuskan untuk kembali pulang ke negerinya. Pada tahun 1942 ia bertolak
dari wilayah koloni Inggris itu menuju ke Sumatera. Tan Malaka melalui Penang
selanjutnya menyeberangi Selat Malaka menuju Belawan, Medan.
Sumber: Historia.id
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete