Sejarah Cinta Qasidah Burdah
Pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW dapat dengan mudah
dijumpai lewat syair-syair atau qasidah yang dikarang oleh para ulama. Diantara
qasidah yang populer di Indonesia adalah al-Kawakib
ad-Durriyah fî Madḥ Khair al-Bariyah atau yang biasa disebut qasidah
Burdah.
Qasidah Burdah dikarang oleh sufi yang juga ahli dalam
membuat bait syair. Beliau adalah Syarafuddin Abu ‘Abdillah Muḥammad bin Sa‘id
bin Ḥammad bin Muḥsin bin ‘Abdillah as-Ṣanhaji ad-Dalaṣi al-Busiri al-Misri. Beliau
masyur dengan nama Imam al-Bushiri di kalangan umat Islam.
Dibalik indahnya qasidah Burdah terselip kisah yang
mengesankan dalam proses pembuatannya. Hal ini dapat kita temui berdasarkan
cerita dari Syekh ‘Abdurraḥman bin Muḥammad (dikenal dengan sebutan Ibn Maqlasy
al-Wahrani) dari Syekh Abu ‘Ali al-Ḥasan al-Qusamṭini dari bapaknya, Abi
al-Qasim bin Badis, dari al-Faqih al-Ḥafiẓ Abi Muḥammad ‘Abd al-Wahhab dari
Imam al-Busiri ra.:
“Adapun alasanku (Imam
al-Busiri) menggubah kasidah ini (Burdah) adalah karena aku terkena penyakit
lumpuh (stroke) dan tiada satupun tukang obat yang bisa mengobatinya. Ia
menyebabkan separuh tubuhku lumpuh dan membebani pikiranku. Maka aku berpikir
untuk menggubah sebuah kasidah, yang dengannya aku bisa memuji dan menyanjung
Nabi Muhammad saw. dan dengannya pula aku bisa bertawasul kepada Tuhanku agar
menyembuhkan penyakitku.”
“Akupun mulai
menggubahnya bait demi bait. Setelah selesai menggubah kasidah tersebut, aku
bermimpi Baginda Nabi Muhammad saw. ketika tidur di malam hari. Aku langsung
bersimpuh di bawah kedua kakinya yang suci dan merendahkan diri di hadapannya
seraya mengadukan penyakitku. Beliau kemudian mendekatiku dan mengusapkan kedua
tangannya yang diberkahi kepada tubuhku. Maka aku langsung terbangun dan seketika
itu aku sembuh. Al-ḥamdu lillâh (segala puji hanya bagi Allah).”
“Keesokan harinya aku
keluar rumah dan kemudian ada seorang fakir menemuiku. Dia mengucapkan salam
kepadaku dan meminta sebuah kasidah kepadaku. Padahal aku belum pernah
menceritakan kepada siapapun kasidah (Burdah) tersebut. Aku berkata kepadanya:
“Kasidah yang mana? Sebab, aku memuji-muji dan menyanjung Rasulullah saw.
dengan beberapa kasidah yang bermacam-macam.”
Dia menjawab: “Kasidah
yang awalanya amin tażakkuri jiranin bi żi salami (bait pertama kasidah
Burdah). Demi Allah, kasidah tersebut bersenandung indah di hadapan Rasulullah
saw. kemarin. Beliau mengayun seperti tangkai yang berayun.”
Beliau (Imam al-Busiri) berkata: “Maka akupun memberikan kasidah (Burdah) itu kepada orang fakir
tersebut dan menceritakan sejarah diciptakannya kasidah itu.”
“Setelah itu, kabar
kasidah (Burdah) tersebar dan sampai kepada Bahâ’uddîn bin Ḥinnâ (perdana
menteri raja aẓ-Ẓâhir). Dia akhirnya menyalin kasidah (Burdah) itu ke dalam
koleksi puisi(diwan)nya dan menaruh perhatian yang sangat mendalam kepadanya. Sehingga
dia bernazar tidak akan mendengarkan kasidah tersebut kecuali dalam keadaan
berdiri dan tanpa penutup kepala serta telanjang kaki (berdiri tanpa memakai
kopiah dan sandal ini dilakukan dalam rangka ta‘ẓîman wa ikrâman atau
mengagungkan dan menghormati kasidah tersebut).”
“Kemudian, anak
laki-laki Baha’uddîn bin Ḥinna menderita penyakit mata dan belum menemukan obat
yang bisa menyembuhkan kedua matanya. Ketika malam tiba, dikatakan kepadanya
(anak laki-laki): “Berobatlah engkau dengan kasidah yang diberi nama Burdah.
Kasidah itu ada di ayahmu.”
Ketika pagi menjelang,
maka dia langsung meminta kasidah tersebut kepada ayahnya. Sang ayah berkata:
“Aku tidak memiliki kasidah Burdah itu. Aku hanya memiliki kasidah yang
diberkahi yang digubah oleh Syekh al-Busiri.” Akhirnya, dia memberikan kasidah
(Burdah) itu kepada anaknya.
Sang anak kemudian
membaca kasidah (Burdah) tersebut bait demi bait sembari mengusapkan tangannya
kepada kedua matanya. Lalu, Allah menyembuhkan pernyakit yang menimpa kedua
matanya
(Syarḥ al-Burdah
al-Bûṣîriyyah asy-Syarḥ al-Mutawassiṭ, hlm. 5-6).” Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam
Sumber: bincangsyariah.com
Comments
Post a Comment