Sultan Muhammad Seman, "Haram Manyarah"




Babak baru Perang Banjar dimulai ketika Pangeran Antasari meninggal dunia tahun 1862. Perjuangan melawan Belanda diteruskan oleh anak beliau Sultan Muhammad Seman yang diangkat menjadi Sultan Banjar. Walaupun Kesultanan Banjar secara sepihak telah dihapus oleh Belanda pada sebuah maklumat tanggal 11 Juni 1860 para bangsawan Banjar tetap tidak mengakui penguasaan Belanda atas tanah Banjar. Mereka mendirikan pemerintahan darurat sebagai penerus Kesultanan Banjar di Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Seman.

Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar yang berdarah Dayak. Hal ini karena ibunya yang bernama Nyai Fatimah merupakan seorang Dayak yang diperistri oleh Pangeran Antasari. Nyai Fatimah merupakan saudara perempuan Tumenggung Surapati seorang panglima Dayak yang ikut berjuang dengan Pangeran Antasari.

Semangat perjuangan yang diwariskan oleh Pangeran Antasari dan darah Dayak yang mengalir di tubuhnya membuat Sultan Muhammad Seman begitu ingin membebaskan tanah Kalimantan dari cengkraman Belanda. Terhitung semenjak pecahnya Perang Banjar tahun 1859 Sultan Muhammad Seman yang masih muda sudah ikut andil dalam perjuangan yang dipimpin oleh ayahnya.

Hingga sampailah medan pertempuran meluas ke Kalimantan Tengah Sultan Muhammad Seman tetap setia mendampingi ayahnya hingga meninggal dunia. Ketika Sultan Muhammad Seman memimpin Perang Banjar perlawanan tetap membara. Ia bersama pasukannya beroperasi di sekitaran Dusun Hulu pada tahun 1883. Dibawah pimpinannya beberapa kali melakukan penyerangan terhadap pos-pos Belanda di Muara Teweh.

Sultan Muhammad Seman mendirikan benteng di daerah hilir Sungai Teweh. Melihat hal ini Belanda mendirikan pos pertahanan darurat di Tuyun dan memperkuat pos di Khayalan. Dua pos tersebut berupaya di putus jaringannya oleh Sultan Muhammad Seman. Namun, di sisi lain Belanda semakin menambah pasukannya di Teweh. Pasukan bantuan dan logistik makanan ditambah di pos tersebut.

Sementara benteng Sultan Muhammad Seman dan pasukannya diintai dengan intensitas tinggi oleh Belanda. Terdapat pasukan-pasukan Belanda yang ditugaskan di utara dan selatan yang juga bertugas menghalang-halangi masuknya logistik makanan ke benteng Sultan Muhammad Seman. Hal ini membuat keadaan sekitar benteng semakin kritis.

Belanda pun memutuskan untuk menyerang benteng tersebut. Pasukan Sultan Muhammad Seman terdesak sehingga memutuskan untuk meloloskan diri. Alhasil benteng jatuh ke tangan Belanda lalu dibakar.

Pada tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan masjid di Baras Kuning yang digunakan sebagai pusat gerakan Beratib Beramal. Perjuangan dengan semboyan “Haram Manyarah” terus dilontarkan Sultan Muhammad Seman kepada pasukannya walaupun sedang lemah dari segi persenjataan. Hal ini cukup membuat Belanda kewalahan menghadapi pejuang-pejuang Banjar dan Dayak yang pantang mundur sebelum mendapatkan hak pusaka (kemerdekaan).

Benteng pertahanan di Kalang Barat udik Baras Kuning terus dipertahankan oleh pasukan Sultan Muhammad Seman. Demi mengalahkan Sultan Muhammad Seman, Belanda menerjunkan Letnan Christoffel yang berpengalaman di Perang Aceh. Dengan cepat pasukan marsose Belanda mengepung benteng Sultan Muhammad Seman di Kalang Barat (Kalang Barah). Di sinilah terjadi pertarungan yang hebat pada Januari 1905.

Pergerakan cepat pasukan Letnan Christoffel membuat  pejuang Banjar dan Dayak kewalahan. Mereka berhasil mendekati daerah benteng pertahanan. Perlawanan dari pasukan Sultan Muhammad Seman terus dilontarkan. Sampai akhirnya sebiji peluru menembus tubuh sang sultan ia pun meninggal sebagai kusuma bangsa dalam membela tanah Kalimantan.

Keberhasilan menaklukkan Sultan Muhammad Seman dilaporkan oleh Letnan Christoffel kepada Gubernur Jendral Belanda di Batavia. Laporan ini sangatlah rahasia yang dimuat dalam ‘Mailrapport’ No. 197 dan ‘Verbaal’ tertanggal 17 April 1905.  Hal ini seperti yang diungkap Helius Sjamsuddin dalam Pagustian dan Tumenggung.

“Ia telah memerintahkan Sultan untuk menyerah, tetapi Sultan Muhammad Seman dengan sisa-sisa pengikutnya yang ada membalas dengan tembakan-tembakan senapan. Oleh sebab itu marsose terpaksa membalas menembaknya. Sultan Muhammad Seman akhirnya gugur dengan dua orang pengikutnya. Mayatnya dibawa ke Puruk Cahu dan segera dikebumikan.” (Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung, hal.437 - 438).

Perjuangan selama 46 tahun merupakan hal yang luar biasa dari seorang Sultan Banjar berdarah Dayak. Seusai meninggalnya Sultan Muhammad Seman perlawanan masih diteruskan oleh anak nya Ratu Zaleha. Namun, semangat rakyat Banjar dan Dayak sedikit memudar karena kehilangan sosok pemimpin yang menemani perjuangan mereka selama berpuluh-puluh tahun. Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Seman meneruskan wasiat Pangeran Antasari yang berpesan agar keturunannya terus memperjuangkan tanah Banjar (Kalimantan). Hal ini pula yang diteruskan oleh Ratu Zaleha walau akhirnya terhenti karena ditangkap Belanda.

Sumber:   suluhbanjar.blogspot.com   |   Wikipedia

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel