Tan Malaka Berdebat dengan Soekarno
Setelah berpetualang di Eropa dan Asia, Tan Malaka memutuskan
untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1943. Ketika itu terjadi pemindahan
kekuasaan di Indonesia karena Belanda menyerah kepada Jepang. Tan Malaka memilih
daerah Bayah di Banten sebagai tempat tinggalnya untuk beberapa saat.
Diburu oleh Belanda selama bertahun-tahun membuat Tan Malaka
harus berhati-hati ketika kembali ke Indonesia. Walau Belanda telah menyerahkan
kekuasaan Indonesia kepada Jepang Tan Malaka tetap menyembunyikan identitasnya
dan menyamar dengan nama Ilyas Husein.
Selama berada di Bayah, Tan Malaka bekerja sebagai juru tulis romusha. Bagi Tan Malaka tidak mudah bekerja di sana karena setiap saat melihat
penderitaan yang nyata dialami oleh saudara sebangsanya. Ia pun memutuskan
untuk memberikan pendidikan kepada para romusha ketika selesai pekerjaannya.
Suatu ketika di tempat ia bekerja dikunjungi oleh Bung Karno
dan Bung Hatta yang ketika itu dikenal sebagai tokoh yang meperjuangkan rakyat
Indonesia. Mereka pun mempersiapkan segala hal untuk menyambut dua tokoh yang
kesohor ini.
Tan Malaka senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan dua
tokoh tersebut. Untuk itu ia mempersiapkan diri dengan berpakaian secara layak.
Ia lalu meminjam kemeja temannya karena pakaian yang ia miliki penuh dengan
tambalan.
Pada hari acara, Tan Malaka mendapat kesempatan menjadi
penyambut Bung Karno dan Bung Hatta ketika di gerbang dan mengantarkan mereka
ke ruang pertemuan. Ia pula yang membawakan makanan dan minuman untuk keduanya.
Sesampainya di ruang pertemuan Bung Karno dan Bung Hatta
menyampaikan pidatonya masing-masing di hadapan hadirin. Tan Malaka gerah
dengan isi pidato yang disampaikan mereka. Ia mengomentari isi pidato tersebut.
“Pidato itu tak berapa
bedanya dengan berlusin-lusin yang diucapkannya di rapat raksasa dan radio….
Sari isinya cocok dengan kehendak Jepang penjajah: kita mesti berbakti dahulu
kepada Jepang, ‘saudara tua’, yang sekarang berperang mati-matian menentang
Sekutu yang jahanam itu. Setelah Sekutu kalah, oleh ‘saudara tua’ kita akan
diberi kemerdekaan… .”
Ketika pidato selesai disampaikan maka moderator Sukarjo Wiryopranoto
membuka sesi tanya jawab kepada hadirin. Namun sungguh disayangkan pertanyaan
tidak dijawab serius bahkan moderator pada kesempatannya mengejek pertanyaan
dari hadirin yang merupakan para pekerja.
Melihat hal ini Tan Malaka dari posisi paling belakang peserta
langsung mengajukan pertanyaan. “Kalau
saya tiada salah bahwa kemenangan terakhir akan menjamin kemerdekaan Indonesia.
Artinya, itu kemenangan terakhir dahulu dan dibelakangnya baru kemerdekaan
Indonesia? Apakah tiada lebih cepat bahwa kemerdekaan Indonesialah kelak yang
lebih menjamin kemenangan terakhir?” tanya Tan Malaka yang ketika itu masih
menyamar menjadi Ilyas Husein.
Bung Karno pun menjawab pertanyaan Tan Malaka, “Buktikanlah jasa kita lebih dahulu!
Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon (Jepang) akan
memberikan kemerdekaan kepada kita.” Demikian ucap Bung Karno.
Mendengar jawaban tersebut Tan Malaka memiliki pandangan
berbeda dengan Bung Karno. Ia pun menyampaikan bahwa kemerdekaan haruslah
diraih dengan perjuangan. Bahkan disaat sudah merdeka pun perjuangan akan tetap
berkorban demi mempertahankannya. Perjuangan ini akan dirasakan semangatnya
jikalau dengan latar belakang usaha sendiri bukan hadiah kemerdekaan yang
dijanjikan oleh penjajah.
Hemat kata Tan Malaka ingin perjuangan kemerdekaan Indonesia
tidak digantungkan kepada belas kasihan penjajah yang akan menjanjikan
kemerdekaan. Terlalu besar risiko yang didapat jikalau menggantungkan nasib
kemerdekaan kepada Jepang.
Bung Karno lantas menjawab argumen dari Tan Malaka
tersebut. “Kalau Dai Nippon sekarang juga
memberikan kemerdekaan kepada saya, saya (Soekarno) tiada akan terima.” Jawab
Bung Karno.
Mendengar jawaban yang seperti itu Tan Malaka belum puas. Ia
ingin kembali mengajukan argumen. Namun, belum sempat Tan Malaka berkata-kata
ia dilarang oleh pengawas pekerja yang ditugaskan pada acara tersebut.
“Saya terpaksa tidak
mengizinkan lagi Tuan Husein (Tan Malaka) untuk berbicara.” kata pengawas
tersebut.
Perbedaan pandangan ini terus berlanjut hingga masa
kemerdekaan. Bung Karno ketika itu lebih memilih jalan diplomasi ketimbang Tan
Malaka yang bergerilya masuk hutan ke hutan untuk menemani perjuangan rakyat.
Ketika masa kemerdekaan tersebut, Tan Malaka sudah membuka identitasnya kepada
Bung Karno dan tokoh-tokoh perjuangan lainnya. Bung Karno pun senang ketika
tokoh yang menginspirasinya lewat buku “Naar
de Republiek Indonesia” karangan Tan Malaka bertemu dengan dirinya tanpa
embel-embel nama samaran.
Sumber: Soekarno Poenja Tjerita terbitan Bentang
Pustaka
Comments
Post a Comment