Awal Mula


AWAL MULA

Ku Cari Kau di Seribu Kota

 

Seperti biasa pada hari kelima dalam kalender satu minggu ia bersiap untuk beribadah. Ia mulai mencari-cari tempat ibadah yang akan ia datangi. Sebelum itu ia sudah berikrar bahwa akan beribadah di tempat yang berbeda pada setiap minggunya. Lantas ia pergi dari satu komplek ke komplek lainnya. Dari satu desa ke desa lainnya. Juga dari satu kota ke kota lainnya. Entah apa yang ia cari yang pasti setiap kota maupun desa terdapat bunga-bunga indah yang dapat ia kenang ketika sepi menyapa.

 

Pagi itu tidak lupa ia buat secangkir minuman yang diracik sendiri. Kopi menjadi pilihan utama dalam setiap kisah di pagi harinya. Tidak jarang ia buat tiga cangkir minuman yang ditujukannya kepada orang tersayang dalam hidupnya. Alhasil ada tiga cangkir dengan rincian dua kopi dan satu teh. Kopi untuk ia dan ibunya sementara ayahnya lebih memilih aroma klasik dari teh.

 

Menyajikan waktu di ruang tamu dengan secangkir kopi menjadi kebiasaan darinya. Terkadang ia keluar rumah sebentar untuk mencari wadai yang menjadi teman setia dari secangkir kopi. Santapan pagi itu terasa begitu berat karena ia membaca buku nasihat dari Jalaluddin Rumi. Matanya sesekali mengarah keluar pintu memandang cahaya mentari yang semakin terang. Tidak jarang juga suara kicauan burung hinggap ditelinganya seakan mengabarkan bahwa hari sudah pagi.

 

“Apa yang engkau cari wahai kawan?” gumam ia dalam hati

 

Ia tidak bisa menjawab. Melihat keluar pintu itu hatinya terus bergumam. Hingga hijaunya dedaunan mengingatkannya akan sebuah desa di Martapura. Teringat ia manusia yang begitu besar jasanya bagi kehidupan sekitar. Yang lebih dari 30 tahun menuntut ilmu di negeri orang dan digunakan ilmu tersebut untuk manfaat sesama.

 

Lalu ia berdiri menuju keluar melewati pintu rumah. Dipandanginya suasana sekitar yang aromanya akan selalu diingat sampai akhir hayat. Duduk ia di teras rumah menemani mentari yang semakin meninggi. Tidak lama ada seseorang yang lewat dan rehat sejenak mengampirinya.

 

“Singgah dulu nah” ujar Adit sahabatnya sejak kecil.

 

“Hi’ih nah lawas kada badapat imbah ada corona nih” kata ia menjawab.

 

“Kada mudik kah ikam?” kata Adit.

 

“Kada nah, tahu kondisi kaya ini bisa-bisa kita ay memahami.”  Ia kembali menjawab

 

“Iya amm nah, saraba ngalih dah kita nih tapi nang ngarannya musibah pasti ada hikmahnya”

 

“Bujur dit ay mudahan haja lakas ampih keadaan kaya ini, aku amm kaganangan banar wan inya”

 

“Bahh ikam ngini mangganang inya tarus, aku nang lawas kada badapat wan ikam kada diganang lah”

 

“Hehehehe, liwar ikam nih dit ay”

 

Begitu lama rasanya mereka berbincang di pagi itu. Seakan separuh waktu sudah mereka curahkan ketika bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Terangnya mentari membuat mereka sedikit bergeser ke tepi pohon untuk berteduh. Di sana mereka meneruskan perbincangan sambil sesekali mengingat apa yang sudah mereka lalui di masa kecil.

 

Dua sahabat sejak kecil ini memang punya banyak cerita ketika sudah dipertemukan. Di malam hari pun mereka kerap bertemu mengisahkan beberapa kejadian yang dialami beberapa hari lalu. Mereka juga pernah saling kisah mengenai orang-orang baik di masa lampau yang jasanya masih dapat dirasakan hingga sekarang. Mereka menyebutnya datu. Di setiap kota hingga pelosok desa selalu ada orang-orang baik tersebut yang dapat diziarahi. Bahkan mungkin lebih dari seribu kota dapat dijelajahi ketika ingin berziarah. Hingga ia memiliki seribu kisah yang dapat ia ceritakan pada sahabat-sahabatnya. Namun kisah ini dirasa kurang menarik bagi mereka yang terbiasa mengkonsumsi kisah dari sinetron, film, ataupun drama produksi luar negeri khususnya Korea.

 

Banjarbaru, 5 Juni 2020

Pulang perjalanan dari Sungai Tabuk


Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel