Subuh Di Banua Halat


SUBUH DI BANUA HALAT

Ku Cari Kau di Seribu Kota

 

Selagi menunggu pukul 10.00 pagi ia meneruskan bacaan novelnya. Tidak seperti biasanya ia membeli sebuah novel untuk menjadi bahan bacaan. Biasanya buku yang ia beli berhubungan dengan dunia sufistik tapi kali ini bacaannya berbeda. Mungkin karena kerinduannya terhadap seseorang di desa itu. Sebuah desa yang tidak tahu persis dimana tempatnya. Sebab ketidaktahuan itulah maka ia putuskan menyematkan alamatnya di hati seseorang itu, bukan di desanya lagi. Karena sejatinya yang ia cari ialah seseorang itu bukan desanya.

 

Meneruskan tradisi satu minggu lalu kali ini ia pergi kembali mencari-Nya di setiap rumah ibadah. Berdasarkan riwayat yang telah ia baca sebuah desa di Tapin menarik perhatiannya. Maka setelah menyiapkan barang-barang keperluan ia memutuskan untuk pergi ke Banua Halat.

 

Memang ia dibesarkan pada sebuah kota yang menjadi penghubung Banjarmasin dan Martapura. Namun, kesukaannya membaca riwayat orang-orang terdahulu membawa cinta kepada suasana desa. Suasana yang tidak akan didapat selama di kota. Walau memang, orang yang tinggal di kota merupakan orang-orang desa yang mencari penghidupan baru. Tapi, suasana penghidupan di kota belum bisa mencapai sayupnya kisah-kisah orang desa ketika mereka ceritakan di kota. Sebab kata ‘kembang desa’ belum bisa digantikan dengan ‘kembang kota’.

 

“Jakanya bebini tuhh sudah nyata kubawai bejalanan kaya ngini.” kata seorang paman di luar rumah yang didengar olehnya. Memang manusia diciptakan berpasang-pasang tapi perlu waktu untuk sepasang makhluk itu dipertemukan. Atau bisa saja mereka sudah dipertemukan namun belum saatnya untuk menjalin kasih. Inilah diantara cobaan hakikat cinta. Kita dipaksa untuk mematuhi kaidah-kaidah cinta yang dibuat oleh Sang Pencipta. Yang mana bilamana kita patuhi menjadi bukti cinta kita kepada Penguasa Alam Semesta. Sebab cinta tak melulu soal makhluk dan rupa.

 

“Aku nihh kada pang lah alim, tapi tertarik banar ayy wan dunia sufistik nih.” kata dia kepada seorang teman kuliahnya

 

“Kanapa tadihh ikam jadi katuju banar.”

 

“Akuu nihh kaya yoo, asa tanang haja mandangar carita-carita wali nihh. Asa cocok banar wan hatiku nang liwar rigat nihh.”

 

“Busia ikam kaina jadi wali jua. Bahh cagaran minta banyu ja aku wan ikam.”

 

“Waluhh ikam nihh hehe.Hati undaa nii liwar rigat makanya handak mambarasih akan. Iyaa salah satunya rajin mambaca manaqib wali. Dari sana timbul rasa cinta kapada sidin. Bahh jakanya tahu aku dapat arti cinta sejati nihh gara-gara mambaca ini pang. Konsep cinta yang kada bakalan didapat di film, sinetron, atau apalah nang di tipi tuhh.”

 

“Harat berarti ikam dahh merayu gadis wahini, euyyyy.”

 

“Nahikam, cinta kada sebatas sesame makhluk haja boss ayy.” sambil berjalan menuju beranda kampus mereka lihat teman-teman kuliah mulai berdatangan di parkiran.

 

Mereka berdua walau berbeda prodi di kampus namun sangatlah akrab. Baru-baru ini ketika hari raya idul fitri dia berkunjung ke rumah sahabatnya itu. Ia juga mengajak sahabat lainnya yang merupakan seorang Dayak perantau di Kalsel. Mereka bertiga pun bertemu kembali setelah dipisahkan oleh wabah yang memisahkan jarak mereka.

 

Sembari mengingat kejadian itu ia bergegas menghabiskan kopinya untuk segera pergi ke Banua Halat. Setelah semua siap tidak lupa ia pamit dahulu kepada kedua orangtuanya. Sepeda motor matic warna hitam menjadi pengantar dirinya menuju tujuan. Dan ia pun pergi.

 

Tidak seperti biasanya jalanan begitu sepi walau matahari sudah meninggi. Mungkin karena wabah masih menyelimuti seisi bumi, pikirnya. Sepanjang perjalanan ia seperti bernostalgia ketika semasa kecil bersama orangtuanya menyusuri jalan ini. Setiap tahun selalu ia lewati jalanan ini ketika mudik hari raya. Walau setiap tahun ia lalui namun kenangan masa kecil tak ubahnya bagaikan kasih sayang ibu yang tak lekang dimakan waktu. Begitu melekat dikenangan walau wujud telah berubah diterpa zaman.

 

Berkunjung ke suatu desa dengan sebungkus kretek mamanglah nikmat baginya. Hingga dalam perjalanannya ia melewati sebuah desa yang membuatnya ingat kepada sesuatu. Di desa itulah ada seseorang yang ia dambakan. Dengan senyum bahagia ia lewati desa itu seakan-akan seseorang itu hadir menyapanya di pinggiran jalan. Sungguh suatu yang indah, melebihi nikmatnya mengisap kretek di pinggiran sungai yang melagukan gemercik. Sebetulnya ia tidak pernah menyangka akan mendambakan seseorang itu, yang ketika pertama kali bertemu ia anggap hanya sebagai bocah suka menganggu. Namun, waktu menjawabnya. Dan menjadi misteri antara cinta dan waktu. Sebab waktu menjadi bagian ketetapan Sang Pencipta yang selalu menjadi misteri bagi manusia.

 

Masjid Keramat Banua Halat 2020 (koleksi pribadi)


Menuju Banua Halat demi memecah rindu

Lewat rembulan malam hari ditipkan dia

Dimohon kepada mentari siang untuk menjaganya

Pada sebuah perjalanan menuju rumah-Nya

 

Banjarbaru, 15 Juni 2020

Ku titip rindu di Banua Halat


Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel